Halo
Friday, December 25, 2015
Sepotong Cinta dari Seorang Tifo
Sebagai seorang penikmat sepakbola, acap kali saya bertanya pada diri sendiri: “Apa sih yang membuat saya jatuh cinta pada sepak bola?”
Tiap kali pertanyaan itu terlintas di benak kepala, jawabannya tak pernah sama. Awalnya, jawaban yang muncul adalah karena saya seorang lelaki. Lalu, jawaban yang muncul adalah karena sepak bola olahraga pertama yang saya mainkan saat saya masih bocah. Begitulah nyatanya, tidak ada alasan menentu kenapa saya menyukai sepak bola.
----
Sepak bola adalah olahraga yang begitu perkasa. Siapa yang bisa menyangkalnya? Ingat-ingatlah kembali bagaimana kerasnya tekel bek-bek yang termahsyur itu. Coba terka berapa besar tenaga yang diperlukan demi berlari mengejar bola. Atau bayangkan sepedas apa bentakan-bentakan pelatih di ruang ganti yang harus didengar, semacam pukulan bertubi-tubi, apalagi beberapa menit sebelumnya ada kekalahan beserta sesal dan malu yang harus ditanggung.
Namun, sepak bola tidak melulu tentang tenaga ataupun bentakan; sepakbola lebih dari itu. Sepak bola adalah cerminan sebuah bangsa, begitulah kata Franz Beckenbauer (http://mojok.co/2014/10/repetisi-pola-dalam-persepakbolaan-kita/, diakses pada 25 Desember 2015). Sepak bola memang melekat dengan budaya masyarakat itu sendiri.
Dalam soal budaya kultur tribun pun terjadi demikian. Hadir ke stadion akan membuat kita tahu bagaimana kebudayaan hadir dengan sangat manifest. Tertibnya pendukung Liga Jerman yang boleh meneguk bir di dalam stadion jadi penegas bahwa budaya disiplin yang terperam dalam budaya mereka teraplikasikan di stadion. Beda, misalkan, dengan suporter Italia yang gemar ribut dan berlaku rasis di dalam stadion. Ataupun suporter Indonesia yang sangat akrab dengan saling pukul dan saling hujat. Semua itu menjelma menjadi budaya di tribun pendukung tim kesayangan.
Suporter dan Dukungan dalam Diam
Koreo dari tribun, kembang api, flare, chant-chant yang menggema di stadion, serta kemenangan yang diraih tim kesayangan, menjadi representasi yang cukup untuk menggambarkan suporter sepak bola. Sebab, secara harfiah suporter memang berasal dari kata “support” alias mendukung.
Tak bisa ditawar lagi, salah satu atribut paling vital yang harus dimiliki oleh sebuah klub adalah suporter. Keberadaan suporter menjadi motivasi sendiri untuk para pemain bermain lebih dari biasanya. Karena hal itu juga, bermain di kandang sendiri ibarat neraka yang harus didatangi oleh tim tamu yang akan berlaga.
Totalitas dan kekompakan yang ditunjukan pun terkadang menjadi bumbu tersendiri yang membuat pertandingan menarik, selain jalannya pertandingan. Lihat saja, koreografi suporter Borussia Dortmund yang akan selalu terkenang, ataupun Brigata Curva Sud, suporter PSS Sleman. Keberadaan mereka membuat stadion terasa berbeda. Meskipun nyatanya, tetap ada suporter yang mendukung dalam diam, karena khidmat menikmati pertandingan yang sedang berlangsung, atau biasa disebut plastic fans.
Plastic fans adalah glory hunter, di mana ia mendukung kesebelasan yang tengah jaya-jayanya. Ini pula yang dikeluhkan Roy Keane saat mereka bermain di Old Trafford, di mana suporter tidak begitu peduli terhadap permainan di lapangan. Mereka hanya duduk diam, entah mendukung siapa.
Bahkan, klub sebesar Manchester United pun begitu. Mungkin saja karena banyak pendatang atau turis yang sengaja datang untuk mendukung pertandingan MU hanya di kandang. Momen kehadiran di Old Trafford sulit untuk diulangi dalam tahun-tahun selanjutnya.
Hal ini serupa dengan konser artis luar negeri ke Indonesia, di mana penonton lebih banyak mengambil gambar ketimbang menikmati dan menghayati setiap alunan nada. Jawabannya mirip: ini kejadian yang jarang terjadi, sehingga mesti diabadikan.
Jangan membayangkan apa yang terjadi di Indonesia. Tidak sedikit yang lebih memilih untuk menonton dari layar kaca dibanding menonton langsung ke stadion. Tentu saja bisa agak dipahami jika banyak orang yang enggan datang ke stadion untuk menyaksikan liga lokal. Prestasi yang jeblok, berita negatif tentang kekerasan suporter, federasi yang berantakan, jadwal yang acak-acakan dan gampang berubah, pengaturan skor, permainan tiket yang memusingkan, hingga fasilitas stadion dan akses jalan yang sulit menjadi alasan kenapa banyak penggila bola yang enggan datang ke stadion.
Namun, sebanyak-banyaknya penonton yang diam saja, jumlah mereka pun tidak bisa dibandingkan dengan jumlah suporter loyal dari setiap klub. Suara mereka tidak pernah habis, bahkan selalu menggema di seluruh isi stadion. Mereka akan dibebaskan berteriak, memaki dan mencaci sepuas mungkin entah itu pada wasit, pemain lawan ataupun idola. Dan hal itu dilakukan tanpa ada seorang pun yang akan menegur.
Suara yang mereka keluarkan pun diiringi dengan ekspektasi yang tinggi akan kemenangan. Jangan bayangkan bagaimana reaksi penonton jika tim yang didukung kalah, emosi yang diluapkan dianggap berbanding lurus dengan kecintaan terhadap tim kesayangan.
Apalagi jika lawan yang dihadapi kesebelasan kesayangan levelnya berada jauh di bawah, ekspektasi tinggi akan hadir. Kemenangan dengan skor telak dengan menampilkan permainan yang enak untuk ditonton menjadi pengharapan penonton yang hadir ke stadion menyempatkan waktu kosongnya.
Jika suporter merupakan pemain ke-12 sebuah kesebelasan; kekompakan dan suaranya ibarat sebuah pelecut motivasi para pemain untuk bermain lebih, siapa dalang dibalik itu semua?
Tifo, Penggerak Pemain Keduabelas
Tifo atau akrab disapa dirigen suporter merupakan orang yang mengatur koreografi para suporter agar lebih terlihat kompak dan menarik. Tifo merupakan sebuah nyawa dalam setiap suporter, selalu memberikan semangat kepada publik yang rela untuk terus berteriak. Tidak jarang juga ia berteriak-teriak mengeluarkan sumpah serapah dengan bahasa yang kotor dan terlarang membuat orang-orang disekitarnya akan tertawa, memujanya dan memberikan tepuk tangan.
Jangan heran seorang tifo sangat senang jika pertandingan akan berlangsung di rumah sendiri. Sebagai orator, ia mendapatkan tenaga yang berlimpah tiap kali berhadapan dengan massa yang luar biasa banyak. Massa adakah injeksi dan selang infus bagi Seorang tifo. Jauh dari massa adalah seburuk-buruknya keadaan bagi seorang tifo.
Tidak sembarang orang bisa menjadi tifo. Seorang tifo biasanya merupakan orang yang cukup dipandang, berwibawa dan paling dituakan. Jika ia sudah berdiri di tribun paling depan, semua penonton seperti tergerak untuk ikut berteriak. Cinta dan fanatisme yang diberikan terkadang tidak bisa dimengerti dengan nalar.
Dalam prakteknya, tifo menggunakan kemampuannya untuk komunikasi publik. Komunikasi publik sendiri merupakan komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak) yang tidak bisa dikenali satu per satu. (Mulyana, 2005: 74).
Tifo merupakan seorang komunikator yang melakukan retorika saat berdiri di depan para suporter fanatik. Keberadaan seorang tifo yang awalnya tidak terlalu penting, menjadi elemen yang sangat penting untuk menggerakan massa. Bahkan, tidak sedikit juga yang menjadikan tifo sebagai budaya yang memerlukan ritual pengangkatan ataupun regenerasi.
Untuk memahami seorang tifo, ada beberapa teori yang cukup untuk menjadi dasar pemahaman. Pertama, menggunakan teori Truth & Rhetoric Theory dan kedua menggunakan face negotiation theory.
Menurut Weaver, Truth & Rhetoric Theory menyatakan bahwa manusia terdiri dari tubuh, jiwa, dan pikiran yang saling memengaruhi. Retorika tersebut menjadi sebuah jendela agar komunikator lebih dikenal. (Littlejohn, 2011).
Sama halnya dengan seorang tifo, sebagai komunikator, yang menjalankan Truth & Rhetoric Theory agar bisa memengaruhi komunikan, yaitu para suporter. Seorang tifo dengan sengaja melakukan retorika agar lebih memiliki wibawa untuk memengaruhi orang lain.
Jika ditinjau dari sisi percakapan, penggunaan face negotiation theory menjadi sesuatu yang cukup relevan. Face negotiation theory adalah suatu tindakan yang memprediksi bagaimana orang berekspresi dalam budaya yang berbeda. (Littlejohn, 2011).
Seperti seorang tifo yang menggunakan face negotiation theory saat beraksi di depan. Memakai wajah yang serius merupakan sebuah keharusan untuk tetap disegani. Bayangkan saja jika Ia memakai wajah main-main yang akan membuat Ia dianggap remeh dan tingkahnya hanya dianggap lelucon belaka.
Meskipun semua hal yang berbau tifo terdengar menyeramkan, menakutkan juga mencekam, dibalik itu semua mereka tetaplah seorang suporter biasa yang memiliki cinta terhadap klub kebanggaan. Mereka ibarat candu yang harus ada di setiap pertandingan. Sebab ketiadaan mereka akan membuat pertandingan hampa.
---
Tapi sepakbola memang candu. Dan banyak dari kita yang dengan senang hati tidak ingin (di)sembuh(kan) dari candu bernama sepakbola. Karena jika candu adalah sesuatu yang salah, dalam hal sepakbola ini, maka banyak yang rela tetap menjadi “salah”.
Sunday, October 25, 2015
Duel Otak; Mewajarkan Hal yang Mudah Dilupakan
Jika
Rene Descartes mengenalkan diktum Cogito
Ergo Sum atau secara lebih mudah bisa diartikan “Saya berpikir, maka saya
ada”, dalam hal video
games hal tersebut berubah menjadi “Saya bermain video games, maka saya ada”.
“Saya
berpikir, maka saya ada” menegaskan pentingnya aspek aktivitas berpikir yang
menentukan kualitas kemanusiaan. (Kumara, 2010) Jika gawai merupakan aspek
berpikir seorang manusia, sama halnya dengan video games yang menjadi raison
d’etre sebuah gawai. [1] Video games di sini bukan semata merujuk kepada sebuah alat, tapi
merujuk juga ke seperangkat aturan main yang memungkinkan sebuah permainan bisa
berlangsung.
Aturan main merupakan sebuah hal
yang vital. Tak ada permainan tanpa aturan main, kata Johan Huizingan (1955).
Aturan main bukan hanya membuat sebuah permainan menjadi mungkin untuk
dilangsungkan, tapi juga menjadi raison d’etre
permainan itu sendiri. Tanpa sebuah aturan main, sebuah permainan tidak akan
menjadi permainan seutuhnya.
Johan Huizinga, dalam
bukunya Homo Ludens (1955),
mengenalkan dua bentuk permainan dalam tradisi klasik Yunani, “agon” dan
“paidia”. Dengan “agon”, Huizinga menjelaskan aktifitas bermain yang dilakukan untuk
mencari yang menang juga kalah. Sehingga aturan main dibutuhkan untuk
menentukan siapa yang menang juga kalah. Sementara Huizinga mengartikan
“paidia” sebagai aktifitas bermain yang murni mencari kesenangan tanpa mencari
menang atau kalah. Sehingga diperbolehkan tanpa menggunakan aturan main.
Namun tidak berarti
tidak ada kenikmatan dalam “agon” juga aturan main dalam “paidia”. Seorang anak
yang bermain keong demi kenikmatan pun mengerti aturan tak kasat mata dalam
kenikmatan ini berupa gaya yang dikeluarkan agar keong tersebut tidak mati.
Begitupun “agon”, memahami secara mendalam tentang aturan tersebut pun tidak
akan membuat seseorang menjadi juara abadi.
Sebelum membahas
lebih dalam, ada baiknya kita memahami kenikmatan terlebih dahulu. Kenikmatan merujuk pada rasa puas yang ditentukan
oleh tiga indikator: kepuasan hidup, adanya emosi positif dan ketiadaan emosi
negatif (Diener et al., 1999). Jika memahami kenikmatan masih terasa begitu
sulit, penggunaan gawai merupakan contoh yang cukup realistis.
Seseorang akan menggunakan gawainya
secara terus menerus, bahkan akan terjadi kecemasan jika dia tidak
menggunakannya. Sama halnya dengan video
games, layaknya candu yang akan memberikan kecemasan sesaat jika dia
berhenti memainkannya.
Duel Otak, Video Games Asal Swedia yang Sedang
Menjamur
Duel Otak merupakan sebuah video games asal Swedia yang sedang menjamur
di Indonesia. Video games yang
mengedepankan ilmu pengetahuan ini menjadi favorit di kalangan remaja. Hanya
dengan mengunduh di Apps Store,
pemilik gawai sudah bisa memainkan permainan ini dan menantang temannya untuk
bermain.
Permainan ini pun membawa kita
kepada dua dampak yang ‘sebenarnya’ baik-baik saja. Menjadi baik jika kita
menyikapinya seperti itu. Karena memang nyatanya hanya ada dua hal yang membuat
permainan ini menjadi baik, mendekatkan orang yang tidak kenal-kenal amat serta membuat seseorang yang tidak
saling mengenal mendadak akrab.
Eits,
semua hal yang baik tidak sepenuhnya menjadi baik juga. Menjadi buruk jika kita
tidak mengerti waktu yang mestinya dilewati
dengan terukur, sistematis dan terjadwal. Yang mana dengan waktu tersebut orang
mengukur pencapaian hidup, menakar apakah usia telah dilalui dengan penuh
faedah ataukah tersia-sia. Sama halnya dengan bermain video games, Menjadi salah jika kita
mengganti waktu produktif kita dengan waktu bermain games. Layaknya heroin yang akan merusak jiwa raga seorang manusia.
Video
games memang candu. Dan banyak dari kita yang dengan senang hati tidak
ingin (di)sembuh(kan) dari candu bernama video
games. Karena jika candu adalah sesuatu yang salah, dalam hal permainan
ini, maka banyak yang rela tetap menjadi “salah”.
Jika Sartre pernah
menyebut manusia dikutuk untuk terlempar sendirian ke dunia dalam keadaan
bebas, hal yang sama juga berlaku pada pemegang gawai. Begitu mereka membuka
gawainya dan memainkan permainan di dalamnya, ia juga dilemparkan sedemikian
rupa ke tempat dalam keadaan bebas, betul-betul bebas, untuk memainkan
permainannya dan menentukan hasilnya sendiri.
Menjadi sulit jika candu tersebut
telah merasuk. Apalagi, dan justru di sinilah
soalnya, orang macam itu tak selalu bisa menyodorkan hasil yang sempurna. Ia
kadang kedodoran memenuhi tenggat, kepayahan mengikuti jadwal hingga
megap-megap dihajar oleh apa yang rutin disebut sebagai kelaziman, kebiasaan,
dan kenormalan.
Duel
Otak, Perang Serta Aktualisasi Terselubung
Tentu masih segar di
ingatan ingat bagaimana media sosial kita dipenuhi tentang asap Riau dan
sekitarnya. Simpati tiba-tiba yang selalu memenuhi timeline media sosial kita tidak pernah berhenti. Sensasi pun
muncul di awal bulan ini, Duel Otak mulai memenuhi timeline media sosial kita, LINE
khususnya. Ajakan bermain di berbagai grup pun bermunculan. Aktualisasi diri
lewat kepintaran pun selalu ditonjolkan.
Mengedepankan duel
sesama pengguna aplikasi, Duel Otak seringkali diibaratkan sebuah perang. Kedua
pihak berjuang saling mengalahkan demi sebuah harga diri, kehormatan, dan yang
terpenting kemenangan. Memiliki ilmu segudang pun tidak menjamin seseorang akan
menang mutlak. Diperlukan kelihaian memilih kategori kuis serta kemampuan
menganalisis kelebihan dan kekurangan lawan untuk mencapai satu formula, yaitu
kemenangan.
Jangan lupakan juga
keberuntungan. Dewi fortuna dinilai memiliki andil yang cukup besar selain
kedua hal yang telah disebutkan. Keberuntungan dalam Duel Otak sering dituding
sebagai biang kerok dari hasil suatu permainan. Banyak orang beranggapan bahwa
jika keberuntungan tidak berpihak kepadanya maka hasil permainan akan seperti
ini, seperti itu dan sebagainya.
Pada akhirnya, games seperti Pokopang ataupun Get Rich
merupakan sebuah refleksi. Refleksi yang menunjukkan bahwa terlalu banyak waktu
dihabiskan untuk menginginkan sesuatu dan kemudian tak menginginkannya lagi.
Tapi banyak juga orang yang menyia-nyiakan waktu dengan menginginkan sesuatu
dan kemudian tak menginginkannya lagi walau keinginan itu belum sempat
terpenuhi. Mungkin saja, Duel Otak pun akan berakhir seperti itu. Karena
memang pada hakikatnya, kenikmatan hanya muncul secara sesaat, tinggal menunggu
waktu untuk ditinggalkan.
[1]
Memahami raison d’erte yang bisa
berarti “Alasan menjadi”. Selengkapnya bisa dilihat di http://www.unisosdem.org/kumtul_detail.php%3Faid%3D95%26coid%3D1%26caid%3D17%26auid%3D3
Wednesday, October 21, 2015
Etika Komunikasi; Ketika Menjadi Baik atau Buruk Itu Nomor Dua
Beberapa dekade silam, para filsuf
menciptakan sebuah pemahaman tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang
dianggap sebagai dasar untuk belajar, mulai dikaji dengan berbagai sudut
pandang. Layaknya sebuah bangun ruang yaitu segitiga, sudut pandang ini
meskipun dikategorikan menjadi tiga hal, dalam teorinya sudut pandang ini tetap
merupakan sesuatu yang tidak bisa terpisahkan. Ketiga hal tersebut dalam segi
teoritis bisa disebut sebagai ontologis, epistimologis dan aksiologis.
Jika
memahami ketiganya terasa begitu sulit, ada baiknya kita berfokus kepada satu
sudut pandang yang sesuai dengan pemahaman kita saat ini; aksiologis.
Aksiologis merupakan bagian dari filsafat ilmu yang
mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologis adalah istilah
yang berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang
artinya nilai dan logos artinya teori
atau ilmu. (Tafsir, 2009) Jadi, aksiologis adalah teori tentang nilai dalam
berbagai bentuk.
Setelah
sedikit memahami aksiologis, muncul pilihan yang menjadi bagian dari
aksiologis; etika. Etika, banyak yang bilang sesuatu yang abstrak dan sulit
untuk dipahami. Etika menjadi seperti itu karena begitulah adanya. Etika muncul
ditengah-tengah manusia yang menginginkan kebahagiaan dan juga kesenangan.
Etika menjadi batasan bagaimana relatifitas manusia dinilai menjadi kunci dari
salah satu cabang aksiologis ini.
Dalam
bentuk lebih sederhana terdapat definisi yang sedikit membingungkan. Menurut
Nilsen (1966, dalam Casmir, 2013, p. 16), etika merupakan jawaban bagi
pertanyaan-pertanyaan tentang baik-buruk, benar-salah dan kewajiban moral.
Dengan kata lain, etika merupakan batasan sistematis untuk menentukan
tindakan-tindakan yang dapat diterima, yang pantas dan yang dihargai. (Casmir,
2013,p. 17).
Terasa
membingungkan ketika relatifitas manusia memang berbeda, namun generalisasi
etika muncul di permukaan. Unsur humanis pun jadi perhitungan utama, karena
memang begitulah etika; tidak pernah terasa benar ataupun salah, karena memang
semua hanya penilaian manusia semata. Serta nilai seenaknya dari masyarakat di
sekitarnya.
Dalam
bentuk lebih sederhana lagi terdapat tiga hal yang cukup membingungkan:
utilitarianisme, hedonisme dan juga eudemonisme. Tiga hal tersebut merupakan
motif dari etika. Utilitarianisme merujuk pada tindakan yang dikatakan benar
ketika ia menghasilkan kebahagiaan dan salah ketika menghasilkan
ketidakbahagiaan (Mill, dalam Bykvist, 2009, p. 21). Hedonisme merujuk pada
rasa puas yang ditentukan oleh tiga indikator: kepuasan hidup, adanya emosi
positif dan ketiadaan emosi negatif (Diener et al., 1999). Eudemonisme merujuk
pada keadaan hidup yang sejalan dengan “true self” (Waterman, 1983).
Seiring
dengan berkembangnya tulisan ini, ada baiknya kita menyamakan persepsi untuk
lebih fokus kepada dua motif: hedonisme dan eudemonisme. Kedua hal yang pada
akhirnya akan dibahas pengaruhnya dengan etika yang abstrak tersebut; menjadi
baik atau buruk?
Secara
lebih mudah, hedonisme bisa diartikan sebagai kenikmatan sedangkan eudemonisme
bisa diartikan sebagai kebahagiaan. Sekilas terlihat sama, namun sebenarnya
terdapat jurang pemisah yang sangat dalam antara kedua hal tersebut. Mencari
kenikmatan tidak akan membawa seorang individu ke puncak kebahagiaan, namun
tidak berlaku sebaliknya.
Epikuros, misalnya. Tokoh hedonisme
ini pun menyepakati bahwa mencari kenikmatan sebanyak-banyaknya tidak
menghasilkan eudemonisme, dan dalam menjalani kenikmatan manusia harus tahu
batasannya (Magnis-Suseno, 2005, p. 248).
Dilema seorang pemain sepak bola
mungkin contoh yang cukup realistis. Sebaik apapun permainannya, pesepakbola
tetap saja seorang yang bisa merasakan kebingungan di hatinya. Dilema akan
muncul ketika pesepakbola sedang menguasai bola; ingin membawanya sendiri atau
mengumpan ke temannya?
Sekilas, opsi mengumpan mungkin saja
cukup memberikan rasa aman kepada timnya. Itu pun dengan catatan dia tidak
melakukan blunder (Red: Kesalahan sendiri). Namun, bagaimana jika opsi membawa
bola sendiri bisa memberikan tim yang dibelanya keuntungan tersendiri, mencetak
gol misalnya.
Dari situ bisa dilihat, opsi mengumpan
merupakan salah satu bentuk kenikmatan karena memberikan rasa lega dengan
melepaskan bola yang cukup memberikan tekanan. Berbeda dengan membawa bola
sendiri dan mencetak gol yang tentu saja akan membawa emosi kebahagiaan yang
cukup dalam.
Memang, contoh di atas tidak bisa
dijadikan patokan secara utuh. Namun, sekilas bisa disimpulkan bahwa kenikmatan
hanya memberikan kesenangan sesaat dan sangat instan. Berbeda dengan
kebahagiaan yang harus dimulai dari kesulitan sebelum mencapai kebahagiaan
secara utuh.
Jika pemahaman kita adalah mengenai
etika, kenikmatan juga kebahagiaan tetaplah memiliki hubungan yang sama. Secara
lebih mudah bisa dipahami bahwa etika menjadi patokan tingkatan dari kenikmatan
juga kebahagiaan. Etika memberi batas bagaimana kenikmatan juga kebahagiaan agar
tetap merata, merata ke setiap manusia yang menginginkannya.
Awalnya coba bayangkan ketika seorang
pesepakbola mengalami cedera di tengah pertandingan. Idealnya, pesepakbola yang
sedang mengolah bola membuang bola ke luar sehingga medis bisa masuk ke lapangan,
karena memang begitulah yang seharusnya terjadi. Bola yang dibuang dan
penanganan cedera oleh tim medis terlihat sangat ideal, karena kedua pihak
mengalami yang namanya rasa aman dan juga kebahagiaan.
Mari melihat dari segi yang lebih
akademis. Kecelakaan pesawat mungkin sudah tidak lagi menjadi asing di telinga
orang Indonesia, begitupun berita yang terkadang tidak enak dipandang di
berbagai media. Media menjadi terlalu seenaknya ketika memberitakan korban
kecelakaan tersebut. Menjadi liar bukan hal yang awam; keluarga korban
kecelakaan seakan jadi objek pemberitaan berlebihan.
Dari perumpamaan di atas, kita bisa
menyimpulkan bahwa etika komunikasi berperan untuk menjamin terpenuhinya
hedonisme juga eudemonisme tiap individu. Di sisi lain juga berperan untuk
membatasi agar kenikmatan serta kebahagiaan berada dalam dua taraf yang
berbeda. Eudemonisme adalah lingkup besar, sedangkan hedonisme ada di dalamnya.
Tidak berlaku sebaliknya.
Secara lebih singkat, eudemonisme
merupakan pemuas kebutuhan yang bersifat jangka panjang sedangkan hedonisme
merupakan pemuas hasrat secara singkat dan juga hilang secara instan.
Pada akhirnya, Kita dihadapkan pada
dua pilihan; ingin menjadi bahagia atau nikmat semata? Menjadi salah ketika
kita menggeneralisasi keduanya serta menganggapnya sama. Meskipun etika
dianggap penting, toh, etika tetaplah
menjadi nomor dua, karena semua pilihan bergantung di tangan, terserah juga
bagaimana kita ingin dilihat oleh sekitar nantinya.
Labels:
#Etikakomunikasi,
#Etikom,
#PublicSpace
Friday, November 14, 2014
Hijau Muda, dengan Identitas Komako didalamnya
suk·se·si /suksési/ n 1 penggantian (terutama di
lingkungan pimpinan tertinggi negara) karena pewarisan; 2 proses pergantian
kepemimpinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yg berlaku. [1]
Setidaknya
definisi suksesi diatas telah sedikit menjawab kebingungan beberapa orang atas
sebuah pertanyaan suksesi apaan sih? Ya, Suksesi merupakan hal
yang sangat vital dalam suatu organisasi sebab dapat memengaruhi kesinambungan
hidup suatu perusahaan, Tak terkecuali Komako.
Komako Mencinta, Komako sebelumnya
yang dipimpin oleh Ikas/ Fia, hampir usai. Semua kinerja yang patut diacungi
jempol dalam satu tahun belakang. Bukan berarti selesainya kepemimpinan mereka,
berakhir juga Komako, bukan. Telah mengajukan diri beberapa
kandidat kuat suksesor Ikas/ Fia untuk memimpin Komako di periode sesudahnya.
Tiga pasangan telah
terbentuk, harapan baru Komako mulai timbul ke permukaan. Ecak/ Fila, Bondan/
Em dan Tangguh/ Taufiq telah siap melanjutkan tongkat kepemimpinan Komako, baik
untuk melanjutkan kinerja Komako sebelumnya, maupun mengevaluasi apa yang harus
dievaluasi.
Bait kata yang kami
lantunkan hanyalah sebuah harapan, tidak untuk menjelek-jelekan ataupun saling
menjatuhkan. Ingat, ini bukan kompetisi. Tahap ini hanyalah tahap
dimana kalian saling memberikan gagasan untuk membangun Komako, Karna kita
semua adalah satu, satu Komako.
Mengusung tema warna, bisa dibilang ini
merupakan perubahan. ya, perubahan. Jika anda biasanya hanya
menjadi golongan 'putih', kreatifitas yang dibuat memaksa anda untuk
memilih, bukan untuk menjadi putih.
Peach, Tosca dan Violet menjadi pilihan, pilihan terbaik
untuk anda pilih. Peach untuk Ecak/ Fila, Tosca untuk
Bondan/ Em dan Violet untuk Tangguh/ Taufiq. Warna
yang kita harapkan bisa membawa Komako menjadi lebih berwarna, tidak untuk
menjadi 'putih'.
-------------------------------
Saya, Fauzi, sejatinya bukanlah entitas yang terlepas dari
seluruh ingin semesta, begitupun kalian. menjadi acuh bukanlah pilihan terbaik,
mengurai benang kusut atas sebuah kompleksitas perlu dilakukan, dan tunjukkan.
Tunjukkan dirimu jadi agen perubahan.
Kamis, 20 November menjadi sebuah awal, awal gagasan yang
akan diutarakan. Wacana belaka bukanlah suatu hal yang diharapkan. 24 - 27
November menjadi penanda, penanda 'warna' apa yang anda pilih. Ketiga warna
yang akan jadi satu nanti pada waktunya. Membentuk satu warna, Hijau Muda,
dengan identitas Komako didalamnya.
Yogyakarta, 15 November 2014.
--------------------------------
Berikut jadwal penting sebagai sedikit informasi:
1. Senin 17 November 2014
Wawancara pasangan,
2. 14-20 November 2014
Masa kampanye calon pasangan,
3. Tgl 20 November 2014
Sarasehan (debat) pasangan, sekitar jam 1-3 siang. memiliki visi-misi dan tagline serta proker, pada saat sarasehan diusahakan turut menyertakan timses,
4. Tgl 24-27 November 2014
Pemungutan suara,
5. tgl 28 Nov 2014
Penghitungan suara.
Referensi:
[1] http://kbbi.web.id/suksesi
Labels:
#Komako
Saturday, June 14, 2014
Dear, John Kerry..
Notice to the Press
Office of the Spokesperson
Washington, DC
June 12, 2014
Secretary of State John Kerry will host the “Our Ocean” Conference at the U.S. Department of State on June 16 and 17. The conference will bring together 350-400 participants from more than 80 nations, including government officials, scientists, and leading international institutions to review the state of the science and determine concrete actions that can be taken at all levels to help protect ocean ecosystems. The conference will focus on Sustainable Fishing, Marine Pollution, and Ocean Acidification.
------------------------------------------------
Itu merupakan sedikit rilis dari web United States yang menunjukan bahwa John Kerry, Sekertaris Negara, akan menjadi host dalam konferensi yang membahas tentang high seas, laut yang berada di luar teritorial sebuah negara. Banyak yang beranggapan tindakan yang dilakukan John Kerry merupakan hal yang mulia, tapi apakah kalian mengetahuinya? sebuah kebohongan dari ucapan yang sempat dikeluarkan?
-------------------------------------------------
Beberapa
hari yang lalu, kami tahu tentang ucapan manismu. kami tahu anda dibesarkan di
pantai dekat Massachusetts. Mengunduh gambar tentang betapa senangnya anda
berlayar dan memancing, sekaligus menunjukan betapa takjubnya dirimu dengan
keindahan laut. Kami luluh, seakan air mata terus jatuh.
Anda seakan
sangat kekeh untuk melindungi laut. ancaman yang menghantui, mulai dari
oksidasi, sampai pengambilan ikan secara berlebih, semua anda laknatkan. Anda
berkata tentang pentingnya lautan yang luas, sebagai pelangsung hidup semua
jiwa, termasuk manusia.
kami
terjatuh, seakan anda benar-benar mengetahui kami, apa yang kami inginkan.
apa
yang kami takutkan? apakah hanya takut tanpa alasan? tidak, kami hanya takut,
semua ucapanmu adalah palsu, seperti pisau yang menodong dari belakang dan siap
menusuk kami.
kami
semua tahu, anda pun tahu. Semua yang kami butuhkan hanyalah komitmen anda.
Apa
yang kami inginkan? kami bukanlah orang yang egois yang ingin semua
dikabulkan...
tapi,
kami hanya bisa memohon, sekaligus meminta, agar anda bisa menyelamatkan masa
depan dari laut luas yang sudah sangat terancam.
Ribuan
surat telah terbuat, kata yang tak kunjung tersirat, tapi kami tetap yakin anda
mendengarkan suara hati kami.
hati
kecil kami tetap memercayai, anda merupakan orang yang tepat untuk melakukan
hal tersebut, tepat saat konferensi "Our Ocean" tanggal 16
Juni. hear what the ocean desperately needs: a United Nations agreement
to protect marine life on the high seas!
---------------------------------------------------
Please support Ocean Sanctuaries
Dear Secretary Kerry,
Thank you for expressing your love for the oceans and organizing the 'Our Ocean' conference. However, I'm not sure how committed you actually are to protecting all of our seas and the life within them.
I urge you to show your true commitment to our oceans and signal that the United States is ready to be a leader on ocean protection issues.
Please champion the launch of a high seas biodiversity agreement in the United Nations General Assembly. With this agreement, ocean sanctuaries could shelter and protect the amazing myriad of marine life in international waters.
Without such protection, our oceans remain defenseless to overfishing, increased pollution, and acidification.
Sincerely,
Fauzi Ananta
Yogyakarta, Indonesia
Fauzi Ananta
Yogyakarta, Indonesia
Labels:
#SaveOurOcean
Monday, May 19, 2014
Komunikasi UGM'13 Trip to Solo!
Senin, tanggal 12 Mei 2014. waktu menunjukkan tepat pukul 06.00, terdengar suara yang ramai dari lantai parkiran, basement. diriku bergegas turun dari motor, melihat ke arah jam tangan dan memastikan bahwa aku tidak telat. antusiasme yang dimiliki menuntunku untuk naik. kulihat matahari pagi bersinar terang, sama seperti senyum anak-anak Komunikasi '13, akrab disapa Composer, yang sangat senang sekali dengan Trip kali ini. Yeah, Holiday!
Menggunakan almamater tercinta, kami bergegas menuju bus. terik matahari tidak membuat kami malas, justru membuat kami makin bahagia. tiga bus berjejer dengan sangat rapih di Grha Sabha Pramana di bagian barat. kita, laki-laki yang terkesan malas dan anak bonbin sejati, sejatinya ingin berada dalam satu bus. apa daya, karena jejak kaki kami terlalu lambat, kita harus berpisah, dipisahkan oleh garis batas antar bus. aku berada di bus terakhir, bersama teman-temanku yang lain. bus pun lepas landas, we are on our way to Solo!
jam menunjukan tepat jam 10 pagi, kita sudah berada di Lokananta. waktu yang ditempuh 1 jam lebih menggunakan bus super besar dengan anak super berisik ini. ketidaksabaran jelas dirasakan semuanya. tanpa basa-basi, mereka semua langsung masuk, walaupun kami tahu bus pertama nyasar, ga peduli. yang penting masuk dulu. ngadem~
masuk ke ruangan yang sangat besar, terdapat beberapa dekorasi yang tidak mudah untuk dimengerti oleh orang awam, termasuk kami, apalagi saya. mereka disitu menjelaskan tentang sejarah Lokananta beserta segala tetekbengeknya, termasuk juga dengan fungsi dari dekorasi-dekorasi di dinding yang sepertinya sangat memiliki nilai artistik tinggi.
sejuk, penerangan cukup, suara yang halus. mengambil posisi paling belakang, beberapa anak mengetahui apa yang paling enak untuk dilakukan, Tidur!. tapi sayang sekali, kesempatan untuk tidur lelap tidak ada karena kami tetap menyadari betapa pentingnya menghargai orang yang sedang berbicara di depan *asik*
setelah pembicaraan yang sangat panjang tersebut, kami ingin lebih! baiklah, kita diantar ke beberapa ruangan yang katanya sih ilegal untuk orang asing, tapi karena kami mahasiswa pemegang peranan penting di masa depan, kami diizinkan untuk melihat-lihat. oke, baris ini sangat sangat tidak penting sekali.
merasa sedikit bosan dengan Lokananta, perut bergejolak. untung sekali semua mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, makannnn! bergegas menuju bus, meyakinkan tidak ada yang tertinggal, packing barang-barang, mempersiapkan perut....Brace yourself, the food is cominggggg!!!!
Prasmanan dan gratis, hal yang tidak dapat dilupakan dari perjalanan ini. antrean panjang, ketahuan pada ga kuat nahan laper semua. temen-temen yang lewat terlihat sangat menyukai gunung, makanan numpuk udah kayak gunung. gak papa, prasmanan...
satu hal yang perlu disayangkan, di cuaca terik tengah hari ini, minuman yang disajikan adalah teh hangat, semakin menambah dahaga panas, tapi tetap terpuaskan kok dengan prasmanan....Prasmanan, Prasmanan Everywhere...
perut sudah siap kembali bertempur, amunisi penuh, bersiap menuju ke destinasi selanjutnya, Museum Pers! bus yang dingin, perut kenyang, menambah catatan tidur di Solo. catatan yang gatau harus masuk buku hitam apa enggak/ gak peduli, yang penting kenyang.
bangun, turun, takjub dengan bentukan dari museum pers. museum yang biasanya lawas, jadul, jelek, kusam, mau rubuh, dan menuju kepunahan sangat jauh dari museum pers. tampilan modern nan stylish seperti Candi Borobudur membuat kami ingin masuk, walau memang disuruh masuk....
baru masuk, suruh duduk. penerangan yang cukup, cuaca diluar hujan, suara yang halus, amunisi penuh, kalian tahu apa yang dilakukan, dan beberapa orang terdeteksi melakukannya dengan sangat baik, sembunyi-sembunyi macam gerilya, dan tidak ada yang tahu. hebat sekali kami.
terdiri dari 4 lantai, membuat semua pada antusias untuk mengecek dari ruangan ke ruangan, walau terdeteksi beberapa anak malas naik sampai ke lantai 4 dikarenakan badan masih sakit-sakit abis naik Merbabu, termasuk saya.....
majalah, koran, jurnal. mulai dari yang menarik sampai yang menjijikan semua ada disitu. dari yang lawas sampai paling anyar, semua juga ada disitu. cen apik tenan neng kene, perpustakaan anak komunikasi banget deh! semua ada!
tibalah di saat yang paling dimalesin, pulang. tugas menanti dan mengejar bagai seorang singa yang kelaparan, selasa kelabu bagai malam kegelapan juga sudah menanti esok hari. kami sangat benci sebuah perpisahan, terutama perpisahan yang ini. ketemu juga baru sehari, eh udah harus pisah, apa gak cepet banget tuh....
catatan perjalanan yang hanya dipenuhi dengan tidur dilengkapi dengan tidur terakhir di bus terakhir di tempat duduk terakhir (read: belakang). lelah, letih, lesu, lunglai, dan segala temannya terpuaskan dibayar oleh.... prasmanan. terima kasih, prasmanan..... *salah fokus*
Thursday, December 26, 2013
Deforestasi, Lakukan Terus Tanpa Henti
Beberapa saat yang lalu, aku menjadi panitia Dies Natalis Fisipol ke-58. aku termenung dan terdiam, bukan karena aku menjadi panitia, melainkan karena aku dihampiri oleh Mbak Ian, dan diberi tahu kalau aku baru saja memenangkan sebuah kaus yang diincar semua mahasiswa fisipol. Gotcha!
well, mungkin sebuah T-shirt biasa, but that motivate me, dude. yang mana dengan datangnya Mbak Rika sebagai perwakilan dari Greenpeace, semakin membuat dilema diriku, mau jadi jurnalis, aktivis, atau turun ke politik?
others dont believe it, how can I win those prizes? but no problem, i like becoming underdog. Ini juga akan menjadi awal buatku, motivasi tersendiri buatku, what I want, I can get it.
yeah, you know, I'm tired of being "anak bawang". this is what I want to show, but this is only the start, just wait some fuckin movement that I will make, and prepare urself to eat your own word, I'll be on top on a few next years. I promise.
well, ini essay yang saya buat, Enjoy!
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam
persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan [1].
Well, dari definisi hutan saja kita
sudah mengetahui seberapa pentingnya hutan, yang biasa disebut sebagai jantung
dari bumi ini. Memang harus diakui, kalau hutan mempunyai banyak manfaat, mulai
dari pengatur iklim, penghasil oksigen,
hidrologi, atau bahkan hal yang tak disadari sekalipun, sebagai biodiversity terbesar.
Apalagi di Indonesia, yang seharusnya tergolong
negara sangat makmur. Bayangkan saja, hutan di Indonesia seluas 109 juta hektar
(2003), dan Indonesia juga pemilik hutan tropis terbesar ketiga, setelah Brazil
dan Kongo. Kekayaan berlimpah didalamnya, 38 ribu jenis tanaman, 515 jenis
mamalia (terbanyak di seluruh dunia), 511 jenis reptil, dan 1.531 jenis burung[2], seharusnya
semakin menegaskan kalau Indonesia adalah negara yang makmur.
Namun,
realitasnya? Luas hutan yang tinggal setengahnya dalam kurun waktu sepuluh
tahun terakhir membalikkan semua fakta yang ada. Diperparah dengan fakta yang
menunjukkan kalau dalam kurun waktu 2000-2005, Indonesia kehilangan hutan
dengan kecepatan 364 Lapangan sepak bola/jam[3]. Apa iya yang
begini masih dibilang makmur?
Apa
sih penyebabnya? Sebuah pertanyaan wajar untuk negeri kita, Indonesia.
deforestasi, atau biasa disebut penggundulan hutan, adalah penyebabnya. Deforestasi
yang telah marak sejak 1970 memang semakin berkembang pesat. Sama seperti
kemajuan teknologi yang semakin canggih dari zaman ke zaman. Dan sudah
diperkirakan hutan Indonesia tersisa tinggal 28%[4]. Dan tinggal
menunggu waktu saja untuk punah.
Every action has its own causes. Deforestry is
not the exception. Penebangan liar, kebakaran hutan, konversi hutan, yang
dilakukan oleh manusia menjadi penyebabnya. But
let ‘em took all the trees, and do everything they wanted. Karena memang, It will cause some effects, seperti
bertambahnya jenis populasi dan iklim yang mendukung.
Bertambahnya
jenis populasi, well,I know you are
confuse with that statement. But don’t judge it, because I haven’t finish it
yet. Bertambahnya jenis populasi, hewan yang terancam punah. Yeah, that’s fuckin right, fellas? Yak,
hewan-hewan di Indonesia memang terancam punah karena kegiatan deforestasi.
Terutama harimau dan orang utan. Bahkan, eksistensi harimau di Sumatera patut
dipertanyakan, karena hanya tersisa kisaran 400 ekor.
Tapi
siapa sangka? Kalau mereka yang hampir punah punya manfaat? Yak, kepunahan
mereka memang bermanfaat, untuk manusia. Terutama untuk penjual ilegal, yang
mengambil manfaat dengan mahalnya kulit dari harimau. Atau pelaku illegal logging, yang tak mementingkan
habitat dari hewan tersebut dan lebih mementingkan sisi materialisme. Atau
suatu hal yang tidak kita sadari? Kalau kita (masyarakat) juga senang dengan
kepunahan dari hewan tersebut. hal tersebut dibuktikan dengan kita yang
menggunakan produk dengan semena-mena tanpa memperdulikan semua berasal dari
sawit, yang notabene telah merusak hutan di Indonesia. atau kebodohan kita yang
senang dengan habisnya harimau, sehingga tidak ada yang menyerang perkampungan
lagi? Well, that’s just a people with
dumb perspective. Karena kita tahu, untuk apa mereka ke perkampungan kalau
kita tak merusak kampung mereka? So, who
did it first? Yeah, I can speak it loudly, we are the creator of every problem.
Namun,
patut digarisbawahi, penyebab terbesar deforestasi, yang memusnahkan fauna,
adalah keberadaan perusahaan besar penyambung nafas Indonesia. kenapa demikian?
Yak, tak bisa dipungkiri, Indonesia adalah pemilik potensi alam terbesar, dan
sebagian besar berada di hutan. Dan untuk memuluskan cara tersebut, hanya ada
satu cara, buka hutan tersebut. Is it
dumb ways to live or to die?
Tak
usah dibayangkan, perusahaan besar seperti AAP, raksasa Pulp dan kertas, telah
mengkonsumsi 1.150 hektar hutan hanya tahun ini[5]! Dan itu jelas
mengancam eksistensi harimau sumatera. That’s
why I don’t ask you to imagine it, because it is a fact, and you can see it on
youtube.
Source:Google.com + CS3 |
Atau
kebodohan Bumitama yang mau dikangkangi oleh Wilmar, dan menghabiskan nyawa
dari Indonesia hanya untuk perluasan sawit. Totally
fail. Wilmar yang telah menghabiskan populasi harimau sumatera, dibantu
dengan Bumitama, di Kalimantan Barat, yang menghabiskan populasi orang utan. Yeah, we know, oil palm can fix our
economics side. But don’t you dare to think every effects that you made?
Source : GreenPeace.or.id
Well, another effects that deforestry made. Iklim yang mendukung. Untuk siapa? Yak, cuaca yang
ekstrem, memang menguntungkan. Untuk beberapa pihak. Petani misalnya, dengan
cuaca panas, sawah mereka semakin hijau kan? Atau ibu rumah tangga, yang senang
dengan cuaca panas, karena cucian cepat kering. But, I must say it once again, that’s only for people with dumb
perspective.
Just look at the reality. Pohon ditumbangkan, menjadi gong mulainya cuaca
ekstrem. Kekeringan melanda dimana-mana. Semua makhluk hidup jadi korbannya.
Mulai dari flora, fauna, bahkan manusia sekalipun. Atau bencana lain, seperti
banjir, yang disebabkan ketidakmampuan tanah melakukan absorbsi air yang datang
dari langit, sehingga menyebabkan banjir. Atau bencana angin taifun yang
melanda, seperti yang terjadi di Filipina akhir-akhir ini, taifun haiyan
menyerang dan menghancurkan pulau Layte[6].
Pemerintah
yang bergerak lamban dan dinilai kurang tegas, memang jadi masalah terbesar.
Dibuktikan dengan gagalnya sidang iklim PBB di Qatar yang menyebabkan protes
bergelombang dari berbagai pihak, tak terkecuali GreenPeace. Dan juga pemerintah yang dinilai kurang tegas dalam
menghukum pelaku deforestasi, dan cenderung mendukung mereka, karena memberi profit besar dalam keuangan mereka.
But what can we do? Are we just sit and talk each
other like nothing happen? Well, it’s your decision. Kita bisa berkampanye, bahkan dari hal kecil
sekalipun. Media sosial misalnya, efektifkan penggunaan media sosial, seperti
Facebook, Twitter, Path, masa iya dipake hanya untuk update kayak ababil baru megang teknologi? Why don’t use it for better options? Seperti kritisi kebijakan
mereka, dan membuat mereka selalu tertekan. simple,
but totally useful. Bukan omong kosong, Unilever yang selalu tertekan mulai
mengikuti kebijakan Nestle, deforestasi nol, yang menunjukkan kalau mereka
tidak akan menghancurkan hutan.
Source : GreenPeace.or.id
Or you can do some unforgetable moment, to get another
awareness. Well, this is what GreenPeace always did. Kasus Wilmar misalnya, mereka membentang karpet
bercorak harimau sembari merobeknya. Bentuk protes ke Wilmar yang terus merusak
habitat mereka tanpa ampun. Atau aksi menutup mulut dengan perekat sebagai
bentuk protes terhadap ditahannya salah satu aktivis GreenPeace di Rusia, beberapa waktu lalu.
But there is the most important point. kerja sama dari lembaga juga dibutuhkan. Masa iya
aktivis yang mengkritisi kebijakan pemerintah Rusia yang mengebor es Arktik,
malah ditangkap. Walau sempat mendapat kecaman dari Ban Ki-Moon, tetap saja,
hal tersebut memang jauh dari peri kemanusiaan.
Yeah, you must realize it, you must act. We need your
voices, GreenPeace need your voice, and I promise I’ll be there to be their
voice in a few next year. See ya, Mbak Rika!
Labels:
#SaveTheTiger
Subscribe to:
Posts (Atom)