Jika
Rene Descartes mengenalkan diktum Cogito
Ergo Sum atau secara lebih mudah bisa diartikan “Saya berpikir, maka saya
ada”, dalam hal video
games hal tersebut berubah menjadi “Saya bermain video games, maka saya ada”.
“Saya
berpikir, maka saya ada” menegaskan pentingnya aspek aktivitas berpikir yang
menentukan kualitas kemanusiaan. (Kumara, 2010) Jika gawai merupakan aspek
berpikir seorang manusia, sama halnya dengan video games yang menjadi raison
d’etre sebuah gawai. [1] Video games di sini bukan semata merujuk kepada sebuah alat, tapi
merujuk juga ke seperangkat aturan main yang memungkinkan sebuah permainan bisa
berlangsung.
Aturan main merupakan sebuah hal
yang vital. Tak ada permainan tanpa aturan main, kata Johan Huizingan (1955).
Aturan main bukan hanya membuat sebuah permainan menjadi mungkin untuk
dilangsungkan, tapi juga menjadi raison d’etre
permainan itu sendiri. Tanpa sebuah aturan main, sebuah permainan tidak akan
menjadi permainan seutuhnya.
Johan Huizinga, dalam
bukunya Homo Ludens (1955),
mengenalkan dua bentuk permainan dalam tradisi klasik Yunani, “agon” dan
“paidia”. Dengan “agon”, Huizinga menjelaskan aktifitas bermain yang dilakukan untuk
mencari yang menang juga kalah. Sehingga aturan main dibutuhkan untuk
menentukan siapa yang menang juga kalah. Sementara Huizinga mengartikan
“paidia” sebagai aktifitas bermain yang murni mencari kesenangan tanpa mencari
menang atau kalah. Sehingga diperbolehkan tanpa menggunakan aturan main.
Namun tidak berarti
tidak ada kenikmatan dalam “agon” juga aturan main dalam “paidia”. Seorang anak
yang bermain keong demi kenikmatan pun mengerti aturan tak kasat mata dalam
kenikmatan ini berupa gaya yang dikeluarkan agar keong tersebut tidak mati.
Begitupun “agon”, memahami secara mendalam tentang aturan tersebut pun tidak
akan membuat seseorang menjadi juara abadi.
Sebelum membahas
lebih dalam, ada baiknya kita memahami kenikmatan terlebih dahulu. Kenikmatan merujuk pada rasa puas yang ditentukan
oleh tiga indikator: kepuasan hidup, adanya emosi positif dan ketiadaan emosi
negatif (Diener et al., 1999). Jika memahami kenikmatan masih terasa begitu
sulit, penggunaan gawai merupakan contoh yang cukup realistis.
Seseorang akan menggunakan gawainya
secara terus menerus, bahkan akan terjadi kecemasan jika dia tidak
menggunakannya. Sama halnya dengan video
games, layaknya candu yang akan memberikan kecemasan sesaat jika dia
berhenti memainkannya.
Duel Otak, Video Games Asal Swedia yang Sedang
Menjamur
Duel Otak merupakan sebuah video games asal Swedia yang sedang menjamur
di Indonesia. Video games yang
mengedepankan ilmu pengetahuan ini menjadi favorit di kalangan remaja. Hanya
dengan mengunduh di Apps Store,
pemilik gawai sudah bisa memainkan permainan ini dan menantang temannya untuk
bermain.
Permainan ini pun membawa kita
kepada dua dampak yang ‘sebenarnya’ baik-baik saja. Menjadi baik jika kita
menyikapinya seperti itu. Karena memang nyatanya hanya ada dua hal yang membuat
permainan ini menjadi baik, mendekatkan orang yang tidak kenal-kenal amat serta membuat seseorang yang tidak
saling mengenal mendadak akrab.
Eits,
semua hal yang baik tidak sepenuhnya menjadi baik juga. Menjadi buruk jika kita
tidak mengerti waktu yang mestinya dilewati
dengan terukur, sistematis dan terjadwal. Yang mana dengan waktu tersebut orang
mengukur pencapaian hidup, menakar apakah usia telah dilalui dengan penuh
faedah ataukah tersia-sia. Sama halnya dengan bermain video games, Menjadi salah jika kita
mengganti waktu produktif kita dengan waktu bermain games. Layaknya heroin yang akan merusak jiwa raga seorang manusia.
Video
games memang candu. Dan banyak dari kita yang dengan senang hati tidak
ingin (di)sembuh(kan) dari candu bernama video
games. Karena jika candu adalah sesuatu yang salah, dalam hal permainan
ini, maka banyak yang rela tetap menjadi “salah”.
Jika Sartre pernah
menyebut manusia dikutuk untuk terlempar sendirian ke dunia dalam keadaan
bebas, hal yang sama juga berlaku pada pemegang gawai. Begitu mereka membuka
gawainya dan memainkan permainan di dalamnya, ia juga dilemparkan sedemikian
rupa ke tempat dalam keadaan bebas, betul-betul bebas, untuk memainkan
permainannya dan menentukan hasilnya sendiri.
Menjadi sulit jika candu tersebut
telah merasuk. Apalagi, dan justru di sinilah
soalnya, orang macam itu tak selalu bisa menyodorkan hasil yang sempurna. Ia
kadang kedodoran memenuhi tenggat, kepayahan mengikuti jadwal hingga
megap-megap dihajar oleh apa yang rutin disebut sebagai kelaziman, kebiasaan,
dan kenormalan.
Duel
Otak, Perang Serta Aktualisasi Terselubung
Tentu masih segar di
ingatan ingat bagaimana media sosial kita dipenuhi tentang asap Riau dan
sekitarnya. Simpati tiba-tiba yang selalu memenuhi timeline media sosial kita tidak pernah berhenti. Sensasi pun
muncul di awal bulan ini, Duel Otak mulai memenuhi timeline media sosial kita, LINE
khususnya. Ajakan bermain di berbagai grup pun bermunculan. Aktualisasi diri
lewat kepintaran pun selalu ditonjolkan.
Mengedepankan duel
sesama pengguna aplikasi, Duel Otak seringkali diibaratkan sebuah perang. Kedua
pihak berjuang saling mengalahkan demi sebuah harga diri, kehormatan, dan yang
terpenting kemenangan. Memiliki ilmu segudang pun tidak menjamin seseorang akan
menang mutlak. Diperlukan kelihaian memilih kategori kuis serta kemampuan
menganalisis kelebihan dan kekurangan lawan untuk mencapai satu formula, yaitu
kemenangan.
Jangan lupakan juga
keberuntungan. Dewi fortuna dinilai memiliki andil yang cukup besar selain
kedua hal yang telah disebutkan. Keberuntungan dalam Duel Otak sering dituding
sebagai biang kerok dari hasil suatu permainan. Banyak orang beranggapan bahwa
jika keberuntungan tidak berpihak kepadanya maka hasil permainan akan seperti
ini, seperti itu dan sebagainya.
Pada akhirnya, games seperti Pokopang ataupun Get Rich
merupakan sebuah refleksi. Refleksi yang menunjukkan bahwa terlalu banyak waktu
dihabiskan untuk menginginkan sesuatu dan kemudian tak menginginkannya lagi.
Tapi banyak juga orang yang menyia-nyiakan waktu dengan menginginkan sesuatu
dan kemudian tak menginginkannya lagi walau keinginan itu belum sempat
terpenuhi. Mungkin saja, Duel Otak pun akan berakhir seperti itu. Karena
memang pada hakikatnya, kenikmatan hanya muncul secara sesaat, tinggal menunggu
waktu untuk ditinggalkan.
[1]
Memahami raison d’erte yang bisa
berarti “Alasan menjadi”. Selengkapnya bisa dilihat di http://www.unisosdem.org/kumtul_detail.php%3Faid%3D95%26coid%3D1%26caid%3D17%26auid%3D3
0 comments:
Post a Comment