Fauzi Ananta

Official Website

Pages

Halo

Halo

Sunday, October 25, 2015

Duel Otak; Mewajarkan Hal yang Mudah Dilupakan

Jika Rene Descartes mengenalkan diktum Cogito Ergo Sum atau secara lebih mudah bisa diartikan “Saya berpikir, maka saya ada”, dalam hal video games hal tersebut berubah menjadi “Saya bermain video games, maka saya ada”.

Saya berpikir, maka saya ada” menegaskan pentingnya aspek aktivitas berpikir yang menentukan kualitas kemanusiaan. (Kumara, 2010) Jika gawai merupakan aspek berpikir seorang manusia, sama halnya dengan video games yang menjadi raison d’etre sebuah gawai. [1] Video games di sini bukan semata merujuk kepada sebuah alat, tapi merujuk juga ke seperangkat aturan main yang memungkinkan sebuah permainan bisa berlangsung.

Aturan main merupakan sebuah hal yang vital. Tak ada permainan tanpa aturan main, kata Johan Huizingan (1955). Aturan main bukan hanya membuat sebuah permainan menjadi mungkin untuk dilangsungkan, tapi juga menjadi raison d’etre permainan itu sendiri. Tanpa sebuah aturan main, sebuah permainan tidak akan menjadi permainan seutuhnya.

Johan Huizinga, dalam bukunya Homo Ludens (1955), mengenalkan dua bentuk permainan dalam tradisi klasik Yunani, “agon” dan “paidia”. Dengan “agon”, Huizinga menjelaskan aktifitas bermain yang dilakukan untuk mencari yang menang juga kalah. Sehingga aturan main dibutuhkan untuk menentukan siapa yang menang juga kalah. Sementara Huizinga mengartikan “paidia” sebagai aktifitas bermain yang murni mencari kesenangan tanpa mencari menang atau kalah. Sehingga diperbolehkan tanpa menggunakan aturan main.

Namun tidak berarti tidak ada kenikmatan dalam “agon” juga aturan main dalam “paidia”. Seorang anak yang bermain keong demi kenikmatan pun mengerti aturan tak kasat mata dalam kenikmatan ini berupa gaya yang dikeluarkan agar keong tersebut tidak mati. Begitupun “agon”, memahami secara mendalam tentang aturan tersebut pun tidak akan membuat seseorang menjadi juara abadi.

Sebelum membahas lebih dalam, ada baiknya kita memahami kenikmatan terlebih dahulu. Kenikmatan merujuk pada rasa puas yang ditentukan oleh tiga indikator: kepuasan hidup, adanya emosi positif dan ketiadaan emosi negatif (Diener et al., 1999). Jika memahami kenikmatan masih terasa begitu sulit, penggunaan gawai merupakan contoh yang cukup realistis.

Seseorang akan menggunakan gawainya secara terus menerus, bahkan akan terjadi kecemasan jika dia tidak menggunakannya. Sama halnya dengan video games, layaknya candu yang akan memberikan kecemasan sesaat jika dia berhenti memainkannya.

Duel Otak, Video Games Asal Swedia yang Sedang Menjamur
            Duel Otak merupakan sebuah video games asal Swedia yang sedang menjamur di Indonesia. Video games yang mengedepankan ilmu pengetahuan ini menjadi favorit di kalangan remaja. Hanya dengan mengunduh di Apps Store, pemilik gawai sudah bisa memainkan permainan ini dan menantang temannya untuk bermain.

Permainan ini pun membawa kita kepada dua dampak yang ‘sebenarnya’ baik-baik saja. Menjadi baik jika kita menyikapinya seperti itu. Karena memang nyatanya hanya ada dua hal yang membuat permainan ini menjadi baik, mendekatkan orang yang tidak kenal-kenal amat serta membuat seseorang yang tidak saling mengenal mendadak akrab.

Eits, semua hal yang baik tidak sepenuhnya menjadi baik juga. Menjadi buruk jika kita tidak mengerti waktu yang mestinya dilewati dengan terukur, sistematis dan terjadwal. Yang mana dengan waktu tersebut orang mengukur pencapaian hidup, menakar apakah usia telah dilalui dengan penuh faedah ataukah tersia-sia. Sama halnya dengan bermain video games, Menjadi salah jika kita mengganti waktu produktif kita dengan waktu bermain games. Layaknya heroin yang akan merusak jiwa raga seorang manusia.

Video games memang candu. Dan banyak dari kita yang dengan senang hati tidak ingin (di)sembuh(kan) dari candu bernama video games. Karena jika candu adalah sesuatu yang salah, dalam hal permainan ini, maka banyak yang rela tetap menjadi “salah”.

Jika Sartre pernah menyebut manusia dikutuk untuk terlempar sendirian ke dunia dalam keadaan bebas, hal yang sama juga berlaku pada pemegang gawai. Begitu mereka membuka gawainya dan memainkan permainan di dalamnya, ia juga dilemparkan sedemikian rupa ke tempat dalam keadaan bebas, betul-betul bebas, untuk memainkan permainannya dan menentukan hasilnya sendiri.

Menjadi sulit jika candu tersebut telah merasuk. Apalagi, dan justru di sinilah soalnya, orang macam itu tak selalu bisa menyodorkan hasil yang sempurna. Ia kadang kedodoran memenuhi tenggat, kepayahan mengikuti jadwal hingga megap-megap dihajar oleh apa yang rutin disebut sebagai kelaziman, kebiasaan, dan kenormalan.

Duel Otak, Perang Serta Aktualisasi Terselubung
Tentu masih segar di ingatan ingat bagaimana media sosial kita dipenuhi tentang asap Riau dan sekitarnya. Simpati tiba-tiba yang selalu memenuhi timeline media sosial kita tidak pernah berhenti. Sensasi pun muncul di awal bulan ini, Duel Otak mulai memenuhi timeline media sosial kita, LINE khususnya. Ajakan bermain di berbagai grup pun bermunculan. Aktualisasi diri lewat kepintaran pun selalu ditonjolkan.

Mengedepankan duel sesama pengguna aplikasi, Duel Otak seringkali diibaratkan sebuah perang. Kedua pihak berjuang saling mengalahkan demi sebuah harga diri, kehormatan, dan yang terpenting kemenangan. Memiliki ilmu segudang pun tidak menjamin seseorang akan menang mutlak. Diperlukan kelihaian memilih kategori kuis serta kemampuan menganalisis kelebihan dan kekurangan lawan untuk mencapai satu formula, yaitu kemenangan.

Jangan lupakan juga keberuntungan. Dewi fortuna dinilai memiliki andil yang cukup besar selain kedua hal yang telah disebutkan. Keberuntungan dalam Duel Otak sering dituding sebagai biang kerok dari hasil suatu permainan. Banyak orang beranggapan bahwa jika keberuntungan tidak berpihak kepadanya maka hasil permainan akan seperti ini, seperti itu dan sebagainya.

Pada akhirnya, games seperti Pokopang ataupun Get Rich merupakan sebuah refleksi. Refleksi yang menunjukkan bahwa terlalu banyak waktu dihabiskan untuk menginginkan sesuatu dan kemudian tak menginginkannya lagi. Tapi banyak juga orang yang menyia-nyiakan waktu dengan menginginkan sesuatu dan kemudian tak menginginkannya lagi walau keinginan itu belum sempat terpenuhi. Mungkin saja, Duel Otak pun akan berakhir seperti itu. Karena memang pada hakikatnya, kenikmatan hanya muncul secara sesaat, tinggal menunggu waktu untuk ditinggalkan.





[1] Memahami raison d’erte yang bisa berarti “Alasan menjadi”. Selengkapnya bisa dilihat di http://www.unisosdem.org/kumtul_detail.php%3Faid%3D95%26coid%3D1%26caid%3D17%26auid%3D3

0 comments:

Post a Comment