Fauzi Ananta

Official Website

Pages

Halo

Halo

Friday, December 25, 2015

Sepotong Cinta dari Seorang Tifo


Sebagai seorang penikmat sepakbola, acap kali saya bertanya pada diri sendiri: “Apa sih yang membuat saya jatuh cinta pada sepak bola?”

Tiap kali pertanyaan itu terlintas di benak kepala, jawabannya tak pernah sama. Awalnya, jawaban yang muncul adalah karena saya seorang lelaki. Lalu, jawaban yang muncul adalah karena sepak bola olahraga pertama yang saya mainkan saat saya masih bocah. Begitulah nyatanya, tidak ada alasan menentu kenapa saya menyukai sepak bola.

----

Sepak bola adalah olahraga yang begitu perkasa. Siapa yang bisa menyangkalnya? Ingat-ingatlah kembali bagaimana kerasnya tekel bek-bek yang termahsyur itu. Coba terka berapa besar tenaga yang diperlukan demi berlari mengejar bola. Atau bayangkan sepedas apa bentakan-bentakan pelatih di ruang ganti yang harus didengar, semacam pukulan bertubi-tubi, apalagi beberapa menit sebelumnya ada kekalahan beserta sesal dan malu yang harus ditanggung.

Namun, sepak bola tidak melulu tentang tenaga ataupun bentakan; sepakbola lebih dari itu. Sepak bola adalah cerminan sebuah bangsa, begitulah kata Franz Beckenbauer (http://mojok.co/2014/10/repetisi-pola-dalam-persepakbolaan-kita/, diakses pada 25 Desember 2015). Sepak bola memang melekat dengan budaya masyarakat itu sendiri.

Dalam soal budaya kultur tribun pun terjadi demikian. Hadir ke stadion akan membuat kita tahu bagaimana kebudayaan hadir dengan sangat manifest. Tertibnya pendukung Liga Jerman yang boleh meneguk bir di dalam stadion jadi penegas bahwa budaya disiplin yang terperam dalam budaya mereka teraplikasikan di stadion. Beda, misalkan, dengan suporter Italia yang gemar ribut dan berlaku rasis di dalam stadion. Ataupun suporter Indonesia yang sangat akrab dengan saling pukul dan saling hujat. Semua itu menjelma menjadi budaya di tribun pendukung tim kesayangan.

Suporter dan Dukungan dalam Diam

Koreo dari tribun, kembang api, flare, chant-chant yang menggema di stadion, serta kemenangan yang diraih tim kesayangan, menjadi representasi yang cukup untuk menggambarkan suporter sepak bola. Sebab, secara harfiah suporter memang berasal dari kata “support” alias mendukung.

Tak bisa ditawar lagi, salah satu atribut paling vital yang harus dimiliki oleh sebuah klub adalah suporter. Keberadaan suporter menjadi motivasi sendiri untuk para pemain bermain lebih dari biasanya. Karena hal itu juga, bermain di kandang sendiri ibarat neraka yang harus didatangi oleh tim tamu yang akan berlaga.

Totalitas dan kekompakan yang ditunjukan pun terkadang menjadi bumbu tersendiri yang membuat pertandingan menarik, selain jalannya pertandingan. Lihat saja, koreografi suporter Borussia Dortmund yang akan selalu terkenang, ataupun Brigata Curva Sud, suporter PSS Sleman. Keberadaan mereka membuat stadion terasa berbeda. Meskipun nyatanya, tetap ada suporter yang mendukung dalam diam, karena khidmat menikmati pertandingan yang sedang berlangsung, atau biasa disebut plastic fans.

Plastic fans adalah glory hunter, di mana ia mendukung kesebelasan yang tengah jaya-jayanya. Ini pula yang dikeluhkan Roy Keane saat mereka bermain di Old Trafford, di mana suporter tidak begitu peduli terhadap permainan di lapangan. Mereka hanya duduk diam, entah mendukung siapa.

Bahkan, klub sebesar Manchester United pun begitu. Mungkin saja karena banyak pendatang atau turis yang sengaja datang untuk mendukung pertandingan MU hanya di kandang. Momen kehadiran di Old Trafford sulit untuk diulangi dalam tahun-tahun selanjutnya.

Hal ini serupa dengan konser artis luar negeri ke Indonesia, di mana penonton lebih banyak mengambil gambar ketimbang menikmati dan menghayati setiap alunan nada. Jawabannya mirip: ini kejadian yang jarang terjadi, sehingga mesti diabadikan.

Jangan membayangkan apa yang terjadi di Indonesia. Tidak sedikit yang lebih memilih untuk menonton dari layar kaca dibanding menonton langsung ke stadion. Tentu saja bisa agak dipahami jika banyak orang yang enggan datang ke stadion untuk menyaksikan liga lokal. Prestasi yang jeblok, berita negatif tentang kekerasan suporter, federasi yang berantakan, jadwal yang acak-acakan dan gampang berubah, pengaturan skor, permainan tiket yang memusingkan, hingga fasilitas stadion dan akses jalan yang sulit menjadi alasan kenapa banyak penggila bola yang enggan datang ke stadion.

Namun, sebanyak-banyaknya penonton yang diam saja, jumlah mereka pun tidak bisa dibandingkan dengan jumlah suporter loyal dari setiap klub. Suara mereka tidak pernah habis, bahkan selalu menggema di seluruh isi stadion. Mereka akan dibebaskan berteriak, memaki dan mencaci sepuas mungkin entah itu pada wasit, pemain lawan ataupun idola. Dan hal itu dilakukan tanpa ada seorang pun yang akan menegur.

Suara yang mereka keluarkan pun diiringi dengan ekspektasi yang tinggi akan kemenangan. Jangan bayangkan bagaimana reaksi penonton jika tim yang didukung kalah, emosi yang diluapkan dianggap berbanding lurus dengan kecintaan terhadap tim kesayangan.

Apalagi jika lawan yang dihadapi kesebelasan kesayangan levelnya berada jauh di bawah, ekspektasi tinggi akan hadir. Kemenangan dengan skor telak dengan menampilkan permainan yang enak untuk ditonton menjadi pengharapan penonton yang hadir ke stadion menyempatkan waktu kosongnya.

Jika suporter merupakan pemain ke-12 sebuah kesebelasan; kekompakan dan suaranya ibarat sebuah pelecut motivasi para pemain untuk bermain lebih, siapa dalang dibalik itu semua?

Tifo, Penggerak Pemain Keduabelas

Tifo atau akrab disapa dirigen suporter merupakan orang yang mengatur koreografi para suporter agar lebih terlihat kompak dan menarik. Tifo merupakan sebuah nyawa dalam setiap suporter, selalu memberikan semangat kepada publik yang rela untuk terus berteriak. Tidak jarang juga ia berteriak-teriak mengeluarkan sumpah serapah dengan bahasa yang kotor dan terlarang membuat orang-orang disekitarnya akan tertawa, memujanya dan memberikan tepuk tangan.

Jangan heran seorang tifo sangat senang jika pertandingan akan berlangsung di rumah sendiri. Sebagai orator, ia mendapatkan tenaga yang berlimpah tiap kali berhadapan dengan massa yang luar biasa banyak. Massa adakah injeksi dan selang infus bagi Seorang tifo. Jauh dari massa adalah seburuk-buruknya keadaan bagi seorang tifo.

Tidak sembarang orang bisa menjadi tifo. Seorang tifo biasanya merupakan orang yang cukup dipandang, berwibawa dan paling dituakan. Jika ia sudah berdiri di tribun paling depan, semua penonton seperti tergerak untuk ikut berteriak. Cinta dan fanatisme yang diberikan terkadang tidak bisa dimengerti dengan nalar.

Dalam prakteknya, tifo menggunakan kemampuannya untuk komunikasi publik. Komunikasi publik sendiri merupakan komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak) yang tidak bisa dikenali satu per satu. (Mulyana, 2005: 74).

Tifo merupakan seorang komunikator yang melakukan retorika saat berdiri di depan para suporter fanatik. Keberadaan seorang tifo yang awalnya tidak terlalu penting, menjadi elemen yang sangat penting untuk menggerakan massa. Bahkan, tidak sedikit juga yang menjadikan tifo sebagai budaya yang memerlukan ritual pengangkatan ataupun regenerasi.

Untuk memahami seorang tifo, ada beberapa teori yang cukup untuk menjadi dasar pemahaman. Pertama, menggunakan teori Truth & Rhetoric Theory dan kedua menggunakan face negotiation theory.

Menurut Weaver, Truth & Rhetoric Theory menyatakan bahwa manusia terdiri dari tubuh, jiwa, dan pikiran yang saling memengaruhi. Retorika tersebut menjadi sebuah jendela agar komunikator lebih dikenal. (Littlejohn, 2011).

Sama halnya dengan seorang tifo, sebagai komunikator, yang menjalankan Truth & Rhetoric Theory agar bisa memengaruhi komunikan, yaitu para suporter. Seorang tifo dengan sengaja melakukan retorika agar lebih memiliki wibawa untuk memengaruhi orang lain.

Jika ditinjau dari sisi percakapan, penggunaan face negotiation theory menjadi sesuatu yang cukup relevan. Face negotiation theory adalah suatu tindakan yang memprediksi bagaimana orang berekspresi dalam budaya yang berbeda. (Littlejohn, 2011).

Seperti seorang tifo yang menggunakan face negotiation theory saat beraksi di depan. Memakai wajah yang serius merupakan sebuah keharusan untuk tetap disegani. Bayangkan saja jika Ia memakai wajah main-main yang akan membuat Ia dianggap remeh dan tingkahnya hanya dianggap lelucon belaka.

Meskipun semua hal yang berbau tifo terdengar menyeramkan, menakutkan juga mencekam, dibalik itu semua mereka tetaplah seorang suporter biasa yang memiliki cinta terhadap klub kebanggaan. Mereka ibarat candu yang harus ada di setiap pertandingan. Sebab ketiadaan mereka akan membuat pertandingan hampa.

---

Tapi sepakbola memang candu. Dan banyak dari kita yang dengan senang hati tidak ingin (di)sembuh(kan) dari candu bernama sepakbola. Karena jika candu adalah sesuatu yang salah, dalam hal sepakbola ini, maka banyak yang rela tetap menjadi “salah”.

0 comments:

Post a Comment