Fauzi Ananta

Official Website

Pages

Halo

Halo

Friday, December 25, 2015

Sepotong Cinta dari Seorang Tifo


Sebagai seorang penikmat sepakbola, acap kali saya bertanya pada diri sendiri: “Apa sih yang membuat saya jatuh cinta pada sepak bola?”

Tiap kali pertanyaan itu terlintas di benak kepala, jawabannya tak pernah sama. Awalnya, jawaban yang muncul adalah karena saya seorang lelaki. Lalu, jawaban yang muncul adalah karena sepak bola olahraga pertama yang saya mainkan saat saya masih bocah. Begitulah nyatanya, tidak ada alasan menentu kenapa saya menyukai sepak bola.

----

Sepak bola adalah olahraga yang begitu perkasa. Siapa yang bisa menyangkalnya? Ingat-ingatlah kembali bagaimana kerasnya tekel bek-bek yang termahsyur itu. Coba terka berapa besar tenaga yang diperlukan demi berlari mengejar bola. Atau bayangkan sepedas apa bentakan-bentakan pelatih di ruang ganti yang harus didengar, semacam pukulan bertubi-tubi, apalagi beberapa menit sebelumnya ada kekalahan beserta sesal dan malu yang harus ditanggung.

Namun, sepak bola tidak melulu tentang tenaga ataupun bentakan; sepakbola lebih dari itu. Sepak bola adalah cerminan sebuah bangsa, begitulah kata Franz Beckenbauer (http://mojok.co/2014/10/repetisi-pola-dalam-persepakbolaan-kita/, diakses pada 25 Desember 2015). Sepak bola memang melekat dengan budaya masyarakat itu sendiri.

Dalam soal budaya kultur tribun pun terjadi demikian. Hadir ke stadion akan membuat kita tahu bagaimana kebudayaan hadir dengan sangat manifest. Tertibnya pendukung Liga Jerman yang boleh meneguk bir di dalam stadion jadi penegas bahwa budaya disiplin yang terperam dalam budaya mereka teraplikasikan di stadion. Beda, misalkan, dengan suporter Italia yang gemar ribut dan berlaku rasis di dalam stadion. Ataupun suporter Indonesia yang sangat akrab dengan saling pukul dan saling hujat. Semua itu menjelma menjadi budaya di tribun pendukung tim kesayangan.

Suporter dan Dukungan dalam Diam

Koreo dari tribun, kembang api, flare, chant-chant yang menggema di stadion, serta kemenangan yang diraih tim kesayangan, menjadi representasi yang cukup untuk menggambarkan suporter sepak bola. Sebab, secara harfiah suporter memang berasal dari kata “support” alias mendukung.

Tak bisa ditawar lagi, salah satu atribut paling vital yang harus dimiliki oleh sebuah klub adalah suporter. Keberadaan suporter menjadi motivasi sendiri untuk para pemain bermain lebih dari biasanya. Karena hal itu juga, bermain di kandang sendiri ibarat neraka yang harus didatangi oleh tim tamu yang akan berlaga.

Totalitas dan kekompakan yang ditunjukan pun terkadang menjadi bumbu tersendiri yang membuat pertandingan menarik, selain jalannya pertandingan. Lihat saja, koreografi suporter Borussia Dortmund yang akan selalu terkenang, ataupun Brigata Curva Sud, suporter PSS Sleman. Keberadaan mereka membuat stadion terasa berbeda. Meskipun nyatanya, tetap ada suporter yang mendukung dalam diam, karena khidmat menikmati pertandingan yang sedang berlangsung, atau biasa disebut plastic fans.

Plastic fans adalah glory hunter, di mana ia mendukung kesebelasan yang tengah jaya-jayanya. Ini pula yang dikeluhkan Roy Keane saat mereka bermain di Old Trafford, di mana suporter tidak begitu peduli terhadap permainan di lapangan. Mereka hanya duduk diam, entah mendukung siapa.

Bahkan, klub sebesar Manchester United pun begitu. Mungkin saja karena banyak pendatang atau turis yang sengaja datang untuk mendukung pertandingan MU hanya di kandang. Momen kehadiran di Old Trafford sulit untuk diulangi dalam tahun-tahun selanjutnya.

Hal ini serupa dengan konser artis luar negeri ke Indonesia, di mana penonton lebih banyak mengambil gambar ketimbang menikmati dan menghayati setiap alunan nada. Jawabannya mirip: ini kejadian yang jarang terjadi, sehingga mesti diabadikan.

Jangan membayangkan apa yang terjadi di Indonesia. Tidak sedikit yang lebih memilih untuk menonton dari layar kaca dibanding menonton langsung ke stadion. Tentu saja bisa agak dipahami jika banyak orang yang enggan datang ke stadion untuk menyaksikan liga lokal. Prestasi yang jeblok, berita negatif tentang kekerasan suporter, federasi yang berantakan, jadwal yang acak-acakan dan gampang berubah, pengaturan skor, permainan tiket yang memusingkan, hingga fasilitas stadion dan akses jalan yang sulit menjadi alasan kenapa banyak penggila bola yang enggan datang ke stadion.

Namun, sebanyak-banyaknya penonton yang diam saja, jumlah mereka pun tidak bisa dibandingkan dengan jumlah suporter loyal dari setiap klub. Suara mereka tidak pernah habis, bahkan selalu menggema di seluruh isi stadion. Mereka akan dibebaskan berteriak, memaki dan mencaci sepuas mungkin entah itu pada wasit, pemain lawan ataupun idola. Dan hal itu dilakukan tanpa ada seorang pun yang akan menegur.

Suara yang mereka keluarkan pun diiringi dengan ekspektasi yang tinggi akan kemenangan. Jangan bayangkan bagaimana reaksi penonton jika tim yang didukung kalah, emosi yang diluapkan dianggap berbanding lurus dengan kecintaan terhadap tim kesayangan.

Apalagi jika lawan yang dihadapi kesebelasan kesayangan levelnya berada jauh di bawah, ekspektasi tinggi akan hadir. Kemenangan dengan skor telak dengan menampilkan permainan yang enak untuk ditonton menjadi pengharapan penonton yang hadir ke stadion menyempatkan waktu kosongnya.

Jika suporter merupakan pemain ke-12 sebuah kesebelasan; kekompakan dan suaranya ibarat sebuah pelecut motivasi para pemain untuk bermain lebih, siapa dalang dibalik itu semua?

Tifo, Penggerak Pemain Keduabelas

Tifo atau akrab disapa dirigen suporter merupakan orang yang mengatur koreografi para suporter agar lebih terlihat kompak dan menarik. Tifo merupakan sebuah nyawa dalam setiap suporter, selalu memberikan semangat kepada publik yang rela untuk terus berteriak. Tidak jarang juga ia berteriak-teriak mengeluarkan sumpah serapah dengan bahasa yang kotor dan terlarang membuat orang-orang disekitarnya akan tertawa, memujanya dan memberikan tepuk tangan.

Jangan heran seorang tifo sangat senang jika pertandingan akan berlangsung di rumah sendiri. Sebagai orator, ia mendapatkan tenaga yang berlimpah tiap kali berhadapan dengan massa yang luar biasa banyak. Massa adakah injeksi dan selang infus bagi Seorang tifo. Jauh dari massa adalah seburuk-buruknya keadaan bagi seorang tifo.

Tidak sembarang orang bisa menjadi tifo. Seorang tifo biasanya merupakan orang yang cukup dipandang, berwibawa dan paling dituakan. Jika ia sudah berdiri di tribun paling depan, semua penonton seperti tergerak untuk ikut berteriak. Cinta dan fanatisme yang diberikan terkadang tidak bisa dimengerti dengan nalar.

Dalam prakteknya, tifo menggunakan kemampuannya untuk komunikasi publik. Komunikasi publik sendiri merupakan komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak) yang tidak bisa dikenali satu per satu. (Mulyana, 2005: 74).

Tifo merupakan seorang komunikator yang melakukan retorika saat berdiri di depan para suporter fanatik. Keberadaan seorang tifo yang awalnya tidak terlalu penting, menjadi elemen yang sangat penting untuk menggerakan massa. Bahkan, tidak sedikit juga yang menjadikan tifo sebagai budaya yang memerlukan ritual pengangkatan ataupun regenerasi.

Untuk memahami seorang tifo, ada beberapa teori yang cukup untuk menjadi dasar pemahaman. Pertama, menggunakan teori Truth & Rhetoric Theory dan kedua menggunakan face negotiation theory.

Menurut Weaver, Truth & Rhetoric Theory menyatakan bahwa manusia terdiri dari tubuh, jiwa, dan pikiran yang saling memengaruhi. Retorika tersebut menjadi sebuah jendela agar komunikator lebih dikenal. (Littlejohn, 2011).

Sama halnya dengan seorang tifo, sebagai komunikator, yang menjalankan Truth & Rhetoric Theory agar bisa memengaruhi komunikan, yaitu para suporter. Seorang tifo dengan sengaja melakukan retorika agar lebih memiliki wibawa untuk memengaruhi orang lain.

Jika ditinjau dari sisi percakapan, penggunaan face negotiation theory menjadi sesuatu yang cukup relevan. Face negotiation theory adalah suatu tindakan yang memprediksi bagaimana orang berekspresi dalam budaya yang berbeda. (Littlejohn, 2011).

Seperti seorang tifo yang menggunakan face negotiation theory saat beraksi di depan. Memakai wajah yang serius merupakan sebuah keharusan untuk tetap disegani. Bayangkan saja jika Ia memakai wajah main-main yang akan membuat Ia dianggap remeh dan tingkahnya hanya dianggap lelucon belaka.

Meskipun semua hal yang berbau tifo terdengar menyeramkan, menakutkan juga mencekam, dibalik itu semua mereka tetaplah seorang suporter biasa yang memiliki cinta terhadap klub kebanggaan. Mereka ibarat candu yang harus ada di setiap pertandingan. Sebab ketiadaan mereka akan membuat pertandingan hampa.

---

Tapi sepakbola memang candu. Dan banyak dari kita yang dengan senang hati tidak ingin (di)sembuh(kan) dari candu bernama sepakbola. Karena jika candu adalah sesuatu yang salah, dalam hal sepakbola ini, maka banyak yang rela tetap menjadi “salah”.

Sunday, October 25, 2015

Duel Otak; Mewajarkan Hal yang Mudah Dilupakan

Jika Rene Descartes mengenalkan diktum Cogito Ergo Sum atau secara lebih mudah bisa diartikan “Saya berpikir, maka saya ada”, dalam hal video games hal tersebut berubah menjadi “Saya bermain video games, maka saya ada”.

Saya berpikir, maka saya ada” menegaskan pentingnya aspek aktivitas berpikir yang menentukan kualitas kemanusiaan. (Kumara, 2010) Jika gawai merupakan aspek berpikir seorang manusia, sama halnya dengan video games yang menjadi raison d’etre sebuah gawai. [1] Video games di sini bukan semata merujuk kepada sebuah alat, tapi merujuk juga ke seperangkat aturan main yang memungkinkan sebuah permainan bisa berlangsung.

Aturan main merupakan sebuah hal yang vital. Tak ada permainan tanpa aturan main, kata Johan Huizingan (1955). Aturan main bukan hanya membuat sebuah permainan menjadi mungkin untuk dilangsungkan, tapi juga menjadi raison d’etre permainan itu sendiri. Tanpa sebuah aturan main, sebuah permainan tidak akan menjadi permainan seutuhnya.

Johan Huizinga, dalam bukunya Homo Ludens (1955), mengenalkan dua bentuk permainan dalam tradisi klasik Yunani, “agon” dan “paidia”. Dengan “agon”, Huizinga menjelaskan aktifitas bermain yang dilakukan untuk mencari yang menang juga kalah. Sehingga aturan main dibutuhkan untuk menentukan siapa yang menang juga kalah. Sementara Huizinga mengartikan “paidia” sebagai aktifitas bermain yang murni mencari kesenangan tanpa mencari menang atau kalah. Sehingga diperbolehkan tanpa menggunakan aturan main.

Namun tidak berarti tidak ada kenikmatan dalam “agon” juga aturan main dalam “paidia”. Seorang anak yang bermain keong demi kenikmatan pun mengerti aturan tak kasat mata dalam kenikmatan ini berupa gaya yang dikeluarkan agar keong tersebut tidak mati. Begitupun “agon”, memahami secara mendalam tentang aturan tersebut pun tidak akan membuat seseorang menjadi juara abadi.

Sebelum membahas lebih dalam, ada baiknya kita memahami kenikmatan terlebih dahulu. Kenikmatan merujuk pada rasa puas yang ditentukan oleh tiga indikator: kepuasan hidup, adanya emosi positif dan ketiadaan emosi negatif (Diener et al., 1999). Jika memahami kenikmatan masih terasa begitu sulit, penggunaan gawai merupakan contoh yang cukup realistis.

Seseorang akan menggunakan gawainya secara terus menerus, bahkan akan terjadi kecemasan jika dia tidak menggunakannya. Sama halnya dengan video games, layaknya candu yang akan memberikan kecemasan sesaat jika dia berhenti memainkannya.

Duel Otak, Video Games Asal Swedia yang Sedang Menjamur
            Duel Otak merupakan sebuah video games asal Swedia yang sedang menjamur di Indonesia. Video games yang mengedepankan ilmu pengetahuan ini menjadi favorit di kalangan remaja. Hanya dengan mengunduh di Apps Store, pemilik gawai sudah bisa memainkan permainan ini dan menantang temannya untuk bermain.

Permainan ini pun membawa kita kepada dua dampak yang ‘sebenarnya’ baik-baik saja. Menjadi baik jika kita menyikapinya seperti itu. Karena memang nyatanya hanya ada dua hal yang membuat permainan ini menjadi baik, mendekatkan orang yang tidak kenal-kenal amat serta membuat seseorang yang tidak saling mengenal mendadak akrab.

Eits, semua hal yang baik tidak sepenuhnya menjadi baik juga. Menjadi buruk jika kita tidak mengerti waktu yang mestinya dilewati dengan terukur, sistematis dan terjadwal. Yang mana dengan waktu tersebut orang mengukur pencapaian hidup, menakar apakah usia telah dilalui dengan penuh faedah ataukah tersia-sia. Sama halnya dengan bermain video games, Menjadi salah jika kita mengganti waktu produktif kita dengan waktu bermain games. Layaknya heroin yang akan merusak jiwa raga seorang manusia.

Video games memang candu. Dan banyak dari kita yang dengan senang hati tidak ingin (di)sembuh(kan) dari candu bernama video games. Karena jika candu adalah sesuatu yang salah, dalam hal permainan ini, maka banyak yang rela tetap menjadi “salah”.

Jika Sartre pernah menyebut manusia dikutuk untuk terlempar sendirian ke dunia dalam keadaan bebas, hal yang sama juga berlaku pada pemegang gawai. Begitu mereka membuka gawainya dan memainkan permainan di dalamnya, ia juga dilemparkan sedemikian rupa ke tempat dalam keadaan bebas, betul-betul bebas, untuk memainkan permainannya dan menentukan hasilnya sendiri.

Menjadi sulit jika candu tersebut telah merasuk. Apalagi, dan justru di sinilah soalnya, orang macam itu tak selalu bisa menyodorkan hasil yang sempurna. Ia kadang kedodoran memenuhi tenggat, kepayahan mengikuti jadwal hingga megap-megap dihajar oleh apa yang rutin disebut sebagai kelaziman, kebiasaan, dan kenormalan.

Duel Otak, Perang Serta Aktualisasi Terselubung
Tentu masih segar di ingatan ingat bagaimana media sosial kita dipenuhi tentang asap Riau dan sekitarnya. Simpati tiba-tiba yang selalu memenuhi timeline media sosial kita tidak pernah berhenti. Sensasi pun muncul di awal bulan ini, Duel Otak mulai memenuhi timeline media sosial kita, LINE khususnya. Ajakan bermain di berbagai grup pun bermunculan. Aktualisasi diri lewat kepintaran pun selalu ditonjolkan.

Mengedepankan duel sesama pengguna aplikasi, Duel Otak seringkali diibaratkan sebuah perang. Kedua pihak berjuang saling mengalahkan demi sebuah harga diri, kehormatan, dan yang terpenting kemenangan. Memiliki ilmu segudang pun tidak menjamin seseorang akan menang mutlak. Diperlukan kelihaian memilih kategori kuis serta kemampuan menganalisis kelebihan dan kekurangan lawan untuk mencapai satu formula, yaitu kemenangan.

Jangan lupakan juga keberuntungan. Dewi fortuna dinilai memiliki andil yang cukup besar selain kedua hal yang telah disebutkan. Keberuntungan dalam Duel Otak sering dituding sebagai biang kerok dari hasil suatu permainan. Banyak orang beranggapan bahwa jika keberuntungan tidak berpihak kepadanya maka hasil permainan akan seperti ini, seperti itu dan sebagainya.

Pada akhirnya, games seperti Pokopang ataupun Get Rich merupakan sebuah refleksi. Refleksi yang menunjukkan bahwa terlalu banyak waktu dihabiskan untuk menginginkan sesuatu dan kemudian tak menginginkannya lagi. Tapi banyak juga orang yang menyia-nyiakan waktu dengan menginginkan sesuatu dan kemudian tak menginginkannya lagi walau keinginan itu belum sempat terpenuhi. Mungkin saja, Duel Otak pun akan berakhir seperti itu. Karena memang pada hakikatnya, kenikmatan hanya muncul secara sesaat, tinggal menunggu waktu untuk ditinggalkan.





[1] Memahami raison d’erte yang bisa berarti “Alasan menjadi”. Selengkapnya bisa dilihat di http://www.unisosdem.org/kumtul_detail.php%3Faid%3D95%26coid%3D1%26caid%3D17%26auid%3D3

Wednesday, October 21, 2015

Etika Komunikasi; Ketika Menjadi Baik atau Buruk Itu Nomor Dua

Beberapa dekade silam, para filsuf menciptakan sebuah pemahaman tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dianggap sebagai dasar untuk belajar, mulai dikaji dengan berbagai sudut pandang. Layaknya sebuah bangun ruang yaitu segitiga, sudut pandang ini meskipun dikategorikan menjadi tiga hal, dalam teorinya sudut pandang ini tetap merupakan sesuatu yang tidak bisa terpisahkan. Ketiga hal tersebut dalam segi teoritis bisa disebut sebagai ontologis, epistimologis dan aksiologis.
            Jika memahami ketiganya terasa begitu sulit, ada baiknya kita berfokus kepada satu sudut pandang yang sesuai dengan pemahaman kita saat ini; aksiologis. Aksiologis merupakan bagian dari  filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologis adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. (Tafsir, 2009) Jadi, aksiologis adalah teori tentang nilai dalam berbagai bentuk.
            Setelah sedikit memahami aksiologis, muncul pilihan yang menjadi bagian dari aksiologis; etika. Etika, banyak yang bilang sesuatu yang abstrak dan sulit untuk dipahami. Etika menjadi seperti itu karena begitulah adanya. Etika muncul ditengah-tengah manusia yang menginginkan kebahagiaan dan juga kesenangan. Etika menjadi batasan bagaimana relatifitas manusia dinilai menjadi kunci dari salah satu cabang aksiologis ini.
            Dalam bentuk lebih sederhana terdapat definisi yang sedikit membingungkan. Menurut Nilsen (1966, dalam Casmir, 2013, p. 16), etika merupakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tentang baik-buruk, benar-salah dan kewajiban moral. Dengan kata lain, etika merupakan batasan sistematis untuk menentukan tindakan-tindakan yang dapat diterima, yang pantas dan yang dihargai. (Casmir, 2013,p. 17).
            Terasa membingungkan ketika relatifitas manusia memang berbeda, namun generalisasi etika muncul di permukaan. Unsur humanis pun jadi perhitungan utama, karena memang begitulah etika; tidak pernah terasa benar ataupun salah, karena memang semua hanya penilaian manusia semata. Serta nilai seenaknya dari masyarakat di sekitarnya.
            Dalam bentuk lebih sederhana lagi terdapat tiga hal yang cukup membingungkan: utilitarianisme, hedonisme dan juga eudemonisme. Tiga hal tersebut merupakan motif dari etika. Utilitarianisme merujuk pada tindakan yang dikatakan benar ketika ia menghasilkan kebahagiaan dan salah ketika menghasilkan ketidakbahagiaan (Mill, dalam Bykvist, 2009, p. 21). Hedonisme merujuk pada rasa puas yang ditentukan oleh tiga indikator: kepuasan hidup, adanya emosi positif dan ketiadaan emosi negatif (Diener et al., 1999). Eudemonisme merujuk pada keadaan hidup yang sejalan dengan “true self” (Waterman, 1983).
            Seiring dengan berkembangnya tulisan ini, ada baiknya kita menyamakan persepsi untuk lebih fokus kepada dua motif: hedonisme dan eudemonisme. Kedua hal yang pada akhirnya akan dibahas pengaruhnya dengan etika yang abstrak tersebut; menjadi baik atau buruk?
            Secara lebih mudah, hedonisme bisa diartikan sebagai kenikmatan sedangkan eudemonisme bisa diartikan sebagai kebahagiaan. Sekilas terlihat sama, namun sebenarnya terdapat jurang pemisah yang sangat dalam antara kedua hal tersebut. Mencari kenikmatan tidak akan membawa seorang individu ke puncak kebahagiaan, namun tidak berlaku sebaliknya.
Epikuros, misalnya. Tokoh hedonisme ini pun menyepakati bahwa mencari kenikmatan sebanyak-banyaknya tidak menghasilkan eudemonisme, dan dalam menjalani kenikmatan manusia harus tahu batasannya (Magnis-Suseno, 2005, p. 248).
Dilema seorang pemain sepak bola mungkin contoh yang cukup realistis. Sebaik apapun permainannya, pesepakbola tetap saja seorang yang bisa merasakan kebingungan di hatinya. Dilema akan muncul ketika pesepakbola sedang menguasai bola; ingin membawanya sendiri atau mengumpan ke temannya?
Sekilas, opsi mengumpan mungkin saja cukup memberikan rasa aman kepada timnya. Itu pun dengan catatan dia tidak melakukan blunder (Red: Kesalahan sendiri). Namun, bagaimana jika opsi membawa bola sendiri bisa memberikan tim yang dibelanya keuntungan tersendiri, mencetak gol misalnya.
Dari situ bisa dilihat, opsi mengumpan merupakan salah satu bentuk kenikmatan karena memberikan rasa lega dengan melepaskan bola yang cukup memberikan tekanan. Berbeda dengan membawa bola sendiri dan mencetak gol yang tentu saja akan membawa emosi kebahagiaan yang cukup dalam.
Memang, contoh di atas tidak bisa dijadikan patokan secara utuh. Namun, sekilas bisa disimpulkan bahwa kenikmatan hanya memberikan kesenangan sesaat dan sangat instan. Berbeda dengan kebahagiaan yang harus dimulai dari kesulitan sebelum mencapai kebahagiaan secara utuh.
Jika pemahaman kita adalah mengenai etika, kenikmatan juga kebahagiaan tetaplah memiliki hubungan yang sama. Secara lebih mudah bisa dipahami bahwa etika menjadi patokan tingkatan dari kenikmatan juga kebahagiaan. Etika memberi batas bagaimana kenikmatan juga kebahagiaan agar tetap merata, merata ke setiap manusia yang menginginkannya.
Awalnya coba bayangkan ketika seorang pesepakbola mengalami cedera di tengah pertandingan. Idealnya, pesepakbola yang sedang mengolah bola membuang bola ke luar sehingga medis bisa masuk ke lapangan, karena memang begitulah yang seharusnya terjadi. Bola yang dibuang dan penanganan cedera oleh tim medis terlihat sangat ideal, karena kedua pihak mengalami yang namanya rasa aman dan juga kebahagiaan.
Mari melihat dari segi yang lebih akademis. Kecelakaan pesawat mungkin sudah tidak lagi menjadi asing di telinga orang Indonesia, begitupun berita yang terkadang tidak enak dipandang di berbagai media. Media menjadi terlalu seenaknya ketika memberitakan korban kecelakaan tersebut. Menjadi liar bukan hal yang awam; keluarga korban kecelakaan seakan jadi objek pemberitaan berlebihan.
Dari perumpamaan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa etika komunikasi berperan untuk menjamin terpenuhinya hedonisme juga eudemonisme tiap individu. Di sisi lain juga berperan untuk membatasi agar kenikmatan serta kebahagiaan berada dalam dua taraf yang berbeda. Eudemonisme adalah lingkup besar, sedangkan hedonisme ada di dalamnya. Tidak berlaku sebaliknya.
Secara lebih singkat, eudemonisme merupakan pemuas kebutuhan yang bersifat jangka panjang sedangkan hedonisme merupakan pemuas hasrat secara singkat dan juga hilang secara instan.

Pada akhirnya, Kita dihadapkan pada dua pilihan; ingin menjadi bahagia atau nikmat semata? Menjadi salah ketika kita menggeneralisasi keduanya serta menganggapnya sama. Meskipun etika dianggap penting, toh, etika tetaplah menjadi nomor dua, karena semua pilihan bergantung di tangan, terserah juga bagaimana kita ingin dilihat oleh sekitar nantinya.