Beberapa dekade silam, para filsuf
menciptakan sebuah pemahaman tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang
dianggap sebagai dasar untuk belajar, mulai dikaji dengan berbagai sudut
pandang. Layaknya sebuah bangun ruang yaitu segitiga, sudut pandang ini
meskipun dikategorikan menjadi tiga hal, dalam teorinya sudut pandang ini tetap
merupakan sesuatu yang tidak bisa terpisahkan. Ketiga hal tersebut dalam segi
teoritis bisa disebut sebagai ontologis, epistimologis dan aksiologis.
Jika
memahami ketiganya terasa begitu sulit, ada baiknya kita berfokus kepada satu
sudut pandang yang sesuai dengan pemahaman kita saat ini; aksiologis.
Aksiologis merupakan bagian dari filsafat ilmu yang
mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologis adalah istilah
yang berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang
artinya nilai dan logos artinya teori
atau ilmu. (Tafsir, 2009) Jadi, aksiologis adalah teori tentang nilai dalam
berbagai bentuk.
Setelah
sedikit memahami aksiologis, muncul pilihan yang menjadi bagian dari
aksiologis; etika. Etika, banyak yang bilang sesuatu yang abstrak dan sulit
untuk dipahami. Etika menjadi seperti itu karena begitulah adanya. Etika muncul
ditengah-tengah manusia yang menginginkan kebahagiaan dan juga kesenangan.
Etika menjadi batasan bagaimana relatifitas manusia dinilai menjadi kunci dari
salah satu cabang aksiologis ini.
Dalam
bentuk lebih sederhana terdapat definisi yang sedikit membingungkan. Menurut
Nilsen (1966, dalam Casmir, 2013, p. 16), etika merupakan jawaban bagi
pertanyaan-pertanyaan tentang baik-buruk, benar-salah dan kewajiban moral.
Dengan kata lain, etika merupakan batasan sistematis untuk menentukan
tindakan-tindakan yang dapat diterima, yang pantas dan yang dihargai. (Casmir,
2013,p. 17).
Terasa
membingungkan ketika relatifitas manusia memang berbeda, namun generalisasi
etika muncul di permukaan. Unsur humanis pun jadi perhitungan utama, karena
memang begitulah etika; tidak pernah terasa benar ataupun salah, karena memang
semua hanya penilaian manusia semata. Serta nilai seenaknya dari masyarakat di
sekitarnya.
Dalam
bentuk lebih sederhana lagi terdapat tiga hal yang cukup membingungkan:
utilitarianisme, hedonisme dan juga eudemonisme. Tiga hal tersebut merupakan
motif dari etika. Utilitarianisme merujuk pada tindakan yang dikatakan benar
ketika ia menghasilkan kebahagiaan dan salah ketika menghasilkan
ketidakbahagiaan (Mill, dalam Bykvist, 2009, p. 21). Hedonisme merujuk pada
rasa puas yang ditentukan oleh tiga indikator: kepuasan hidup, adanya emosi
positif dan ketiadaan emosi negatif (Diener et al., 1999). Eudemonisme merujuk
pada keadaan hidup yang sejalan dengan “true self” (Waterman, 1983).
Seiring
dengan berkembangnya tulisan ini, ada baiknya kita menyamakan persepsi untuk
lebih fokus kepada dua motif: hedonisme dan eudemonisme. Kedua hal yang pada
akhirnya akan dibahas pengaruhnya dengan etika yang abstrak tersebut; menjadi
baik atau buruk?
Secara
lebih mudah, hedonisme bisa diartikan sebagai kenikmatan sedangkan eudemonisme
bisa diartikan sebagai kebahagiaan. Sekilas terlihat sama, namun sebenarnya
terdapat jurang pemisah yang sangat dalam antara kedua hal tersebut. Mencari
kenikmatan tidak akan membawa seorang individu ke puncak kebahagiaan, namun
tidak berlaku sebaliknya.
Epikuros, misalnya. Tokoh hedonisme
ini pun menyepakati bahwa mencari kenikmatan sebanyak-banyaknya tidak
menghasilkan eudemonisme, dan dalam menjalani kenikmatan manusia harus tahu
batasannya (Magnis-Suseno, 2005, p. 248).
Dilema seorang pemain sepak bola
mungkin contoh yang cukup realistis. Sebaik apapun permainannya, pesepakbola
tetap saja seorang yang bisa merasakan kebingungan di hatinya. Dilema akan
muncul ketika pesepakbola sedang menguasai bola; ingin membawanya sendiri atau
mengumpan ke temannya?
Sekilas, opsi mengumpan mungkin saja
cukup memberikan rasa aman kepada timnya. Itu pun dengan catatan dia tidak
melakukan blunder (Red: Kesalahan sendiri). Namun, bagaimana jika opsi membawa
bola sendiri bisa memberikan tim yang dibelanya keuntungan tersendiri, mencetak
gol misalnya.
Dari situ bisa dilihat, opsi mengumpan
merupakan salah satu bentuk kenikmatan karena memberikan rasa lega dengan
melepaskan bola yang cukup memberikan tekanan. Berbeda dengan membawa bola
sendiri dan mencetak gol yang tentu saja akan membawa emosi kebahagiaan yang
cukup dalam.
Memang, contoh di atas tidak bisa
dijadikan patokan secara utuh. Namun, sekilas bisa disimpulkan bahwa kenikmatan
hanya memberikan kesenangan sesaat dan sangat instan. Berbeda dengan
kebahagiaan yang harus dimulai dari kesulitan sebelum mencapai kebahagiaan
secara utuh.
Jika pemahaman kita adalah mengenai
etika, kenikmatan juga kebahagiaan tetaplah memiliki hubungan yang sama. Secara
lebih mudah bisa dipahami bahwa etika menjadi patokan tingkatan dari kenikmatan
juga kebahagiaan. Etika memberi batas bagaimana kenikmatan juga kebahagiaan agar
tetap merata, merata ke setiap manusia yang menginginkannya.
Awalnya coba bayangkan ketika seorang
pesepakbola mengalami cedera di tengah pertandingan. Idealnya, pesepakbola yang
sedang mengolah bola membuang bola ke luar sehingga medis bisa masuk ke lapangan,
karena memang begitulah yang seharusnya terjadi. Bola yang dibuang dan
penanganan cedera oleh tim medis terlihat sangat ideal, karena kedua pihak
mengalami yang namanya rasa aman dan juga kebahagiaan.
Mari melihat dari segi yang lebih
akademis. Kecelakaan pesawat mungkin sudah tidak lagi menjadi asing di telinga
orang Indonesia, begitupun berita yang terkadang tidak enak dipandang di
berbagai media. Media menjadi terlalu seenaknya ketika memberitakan korban
kecelakaan tersebut. Menjadi liar bukan hal yang awam; keluarga korban
kecelakaan seakan jadi objek pemberitaan berlebihan.
Dari perumpamaan di atas, kita bisa
menyimpulkan bahwa etika komunikasi berperan untuk menjamin terpenuhinya
hedonisme juga eudemonisme tiap individu. Di sisi lain juga berperan untuk
membatasi agar kenikmatan serta kebahagiaan berada dalam dua taraf yang
berbeda. Eudemonisme adalah lingkup besar, sedangkan hedonisme ada di dalamnya.
Tidak berlaku sebaliknya.
Secara lebih singkat, eudemonisme
merupakan pemuas kebutuhan yang bersifat jangka panjang sedangkan hedonisme
merupakan pemuas hasrat secara singkat dan juga hilang secara instan.
Pada akhirnya, Kita dihadapkan pada
dua pilihan; ingin menjadi bahagia atau nikmat semata? Menjadi salah ketika
kita menggeneralisasi keduanya serta menganggapnya sama. Meskipun etika
dianggap penting, toh, etika tetaplah
menjadi nomor dua, karena semua pilihan bergantung di tangan, terserah juga
bagaimana kita ingin dilihat oleh sekitar nantinya.
0 comments:
Post a Comment