Fauzi Ananta

Official Website

Pages

Halo

Halo

Wednesday, October 21, 2015

Etika Komunikasi; Ketika Menjadi Baik atau Buruk Itu Nomor Dua

Beberapa dekade silam, para filsuf menciptakan sebuah pemahaman tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dianggap sebagai dasar untuk belajar, mulai dikaji dengan berbagai sudut pandang. Layaknya sebuah bangun ruang yaitu segitiga, sudut pandang ini meskipun dikategorikan menjadi tiga hal, dalam teorinya sudut pandang ini tetap merupakan sesuatu yang tidak bisa terpisahkan. Ketiga hal tersebut dalam segi teoritis bisa disebut sebagai ontologis, epistimologis dan aksiologis.
            Jika memahami ketiganya terasa begitu sulit, ada baiknya kita berfokus kepada satu sudut pandang yang sesuai dengan pemahaman kita saat ini; aksiologis. Aksiologis merupakan bagian dari  filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologis adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. (Tafsir, 2009) Jadi, aksiologis adalah teori tentang nilai dalam berbagai bentuk.
            Setelah sedikit memahami aksiologis, muncul pilihan yang menjadi bagian dari aksiologis; etika. Etika, banyak yang bilang sesuatu yang abstrak dan sulit untuk dipahami. Etika menjadi seperti itu karena begitulah adanya. Etika muncul ditengah-tengah manusia yang menginginkan kebahagiaan dan juga kesenangan. Etika menjadi batasan bagaimana relatifitas manusia dinilai menjadi kunci dari salah satu cabang aksiologis ini.
            Dalam bentuk lebih sederhana terdapat definisi yang sedikit membingungkan. Menurut Nilsen (1966, dalam Casmir, 2013, p. 16), etika merupakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tentang baik-buruk, benar-salah dan kewajiban moral. Dengan kata lain, etika merupakan batasan sistematis untuk menentukan tindakan-tindakan yang dapat diterima, yang pantas dan yang dihargai. (Casmir, 2013,p. 17).
            Terasa membingungkan ketika relatifitas manusia memang berbeda, namun generalisasi etika muncul di permukaan. Unsur humanis pun jadi perhitungan utama, karena memang begitulah etika; tidak pernah terasa benar ataupun salah, karena memang semua hanya penilaian manusia semata. Serta nilai seenaknya dari masyarakat di sekitarnya.
            Dalam bentuk lebih sederhana lagi terdapat tiga hal yang cukup membingungkan: utilitarianisme, hedonisme dan juga eudemonisme. Tiga hal tersebut merupakan motif dari etika. Utilitarianisme merujuk pada tindakan yang dikatakan benar ketika ia menghasilkan kebahagiaan dan salah ketika menghasilkan ketidakbahagiaan (Mill, dalam Bykvist, 2009, p. 21). Hedonisme merujuk pada rasa puas yang ditentukan oleh tiga indikator: kepuasan hidup, adanya emosi positif dan ketiadaan emosi negatif (Diener et al., 1999). Eudemonisme merujuk pada keadaan hidup yang sejalan dengan “true self” (Waterman, 1983).
            Seiring dengan berkembangnya tulisan ini, ada baiknya kita menyamakan persepsi untuk lebih fokus kepada dua motif: hedonisme dan eudemonisme. Kedua hal yang pada akhirnya akan dibahas pengaruhnya dengan etika yang abstrak tersebut; menjadi baik atau buruk?
            Secara lebih mudah, hedonisme bisa diartikan sebagai kenikmatan sedangkan eudemonisme bisa diartikan sebagai kebahagiaan. Sekilas terlihat sama, namun sebenarnya terdapat jurang pemisah yang sangat dalam antara kedua hal tersebut. Mencari kenikmatan tidak akan membawa seorang individu ke puncak kebahagiaan, namun tidak berlaku sebaliknya.
Epikuros, misalnya. Tokoh hedonisme ini pun menyepakati bahwa mencari kenikmatan sebanyak-banyaknya tidak menghasilkan eudemonisme, dan dalam menjalani kenikmatan manusia harus tahu batasannya (Magnis-Suseno, 2005, p. 248).
Dilema seorang pemain sepak bola mungkin contoh yang cukup realistis. Sebaik apapun permainannya, pesepakbola tetap saja seorang yang bisa merasakan kebingungan di hatinya. Dilema akan muncul ketika pesepakbola sedang menguasai bola; ingin membawanya sendiri atau mengumpan ke temannya?
Sekilas, opsi mengumpan mungkin saja cukup memberikan rasa aman kepada timnya. Itu pun dengan catatan dia tidak melakukan blunder (Red: Kesalahan sendiri). Namun, bagaimana jika opsi membawa bola sendiri bisa memberikan tim yang dibelanya keuntungan tersendiri, mencetak gol misalnya.
Dari situ bisa dilihat, opsi mengumpan merupakan salah satu bentuk kenikmatan karena memberikan rasa lega dengan melepaskan bola yang cukup memberikan tekanan. Berbeda dengan membawa bola sendiri dan mencetak gol yang tentu saja akan membawa emosi kebahagiaan yang cukup dalam.
Memang, contoh di atas tidak bisa dijadikan patokan secara utuh. Namun, sekilas bisa disimpulkan bahwa kenikmatan hanya memberikan kesenangan sesaat dan sangat instan. Berbeda dengan kebahagiaan yang harus dimulai dari kesulitan sebelum mencapai kebahagiaan secara utuh.
Jika pemahaman kita adalah mengenai etika, kenikmatan juga kebahagiaan tetaplah memiliki hubungan yang sama. Secara lebih mudah bisa dipahami bahwa etika menjadi patokan tingkatan dari kenikmatan juga kebahagiaan. Etika memberi batas bagaimana kenikmatan juga kebahagiaan agar tetap merata, merata ke setiap manusia yang menginginkannya.
Awalnya coba bayangkan ketika seorang pesepakbola mengalami cedera di tengah pertandingan. Idealnya, pesepakbola yang sedang mengolah bola membuang bola ke luar sehingga medis bisa masuk ke lapangan, karena memang begitulah yang seharusnya terjadi. Bola yang dibuang dan penanganan cedera oleh tim medis terlihat sangat ideal, karena kedua pihak mengalami yang namanya rasa aman dan juga kebahagiaan.
Mari melihat dari segi yang lebih akademis. Kecelakaan pesawat mungkin sudah tidak lagi menjadi asing di telinga orang Indonesia, begitupun berita yang terkadang tidak enak dipandang di berbagai media. Media menjadi terlalu seenaknya ketika memberitakan korban kecelakaan tersebut. Menjadi liar bukan hal yang awam; keluarga korban kecelakaan seakan jadi objek pemberitaan berlebihan.
Dari perumpamaan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa etika komunikasi berperan untuk menjamin terpenuhinya hedonisme juga eudemonisme tiap individu. Di sisi lain juga berperan untuk membatasi agar kenikmatan serta kebahagiaan berada dalam dua taraf yang berbeda. Eudemonisme adalah lingkup besar, sedangkan hedonisme ada di dalamnya. Tidak berlaku sebaliknya.
Secara lebih singkat, eudemonisme merupakan pemuas kebutuhan yang bersifat jangka panjang sedangkan hedonisme merupakan pemuas hasrat secara singkat dan juga hilang secara instan.

Pada akhirnya, Kita dihadapkan pada dua pilihan; ingin menjadi bahagia atau nikmat semata? Menjadi salah ketika kita menggeneralisasi keduanya serta menganggapnya sama. Meskipun etika dianggap penting, toh, etika tetaplah menjadi nomor dua, karena semua pilihan bergantung di tangan, terserah juga bagaimana kita ingin dilihat oleh sekitar nantinya.

0 comments:

Post a Comment