Beberapa saat yang lalu, aku menjadi panitia Dies Natalis Fisipol ke-58. aku termenung dan terdiam, bukan karena aku menjadi panitia, melainkan karena aku dihampiri oleh Mbak Ian, dan diberi tahu kalau aku baru saja memenangkan sebuah kaus yang diincar semua mahasiswa fisipol. Gotcha!
well, mungkin sebuah T-shirt biasa, but that motivate me, dude. yang mana dengan datangnya Mbak Rika sebagai perwakilan dari Greenpeace, semakin membuat dilema diriku, mau jadi jurnalis, aktivis, atau turun ke politik?
others dont believe it, how can I win those prizes? but no problem, i like becoming underdog. Ini juga akan menjadi awal buatku, motivasi tersendiri buatku, what I want, I can get it.
yeah, you know, I'm tired of being "anak bawang". this is what I want to show, but this is only the start, just wait some fuckin movement that I will make, and prepare urself to eat your own word, I'll be on top on a few next years. I promise.
well, ini essay yang saya buat, Enjoy!
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam
persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan [1].
Well, dari definisi hutan saja kita
sudah mengetahui seberapa pentingnya hutan, yang biasa disebut sebagai jantung
dari bumi ini. Memang harus diakui, kalau hutan mempunyai banyak manfaat, mulai
dari pengatur iklim, penghasil oksigen,
hidrologi, atau bahkan hal yang tak disadari sekalipun, sebagai biodiversity terbesar.
Apalagi di Indonesia, yang seharusnya tergolong
negara sangat makmur. Bayangkan saja, hutan di Indonesia seluas 109 juta hektar
(2003), dan Indonesia juga pemilik hutan tropis terbesar ketiga, setelah Brazil
dan Kongo. Kekayaan berlimpah didalamnya, 38 ribu jenis tanaman, 515 jenis
mamalia (terbanyak di seluruh dunia), 511 jenis reptil, dan 1.531 jenis burung[2], seharusnya
semakin menegaskan kalau Indonesia adalah negara yang makmur.
Namun,
realitasnya? Luas hutan yang tinggal setengahnya dalam kurun waktu sepuluh
tahun terakhir membalikkan semua fakta yang ada. Diperparah dengan fakta yang
menunjukkan kalau dalam kurun waktu 2000-2005, Indonesia kehilangan hutan
dengan kecepatan 364 Lapangan sepak bola/jam[3]. Apa iya yang
begini masih dibilang makmur?
Apa
sih penyebabnya? Sebuah pertanyaan wajar untuk negeri kita, Indonesia.
deforestasi, atau biasa disebut penggundulan hutan, adalah penyebabnya. Deforestasi
yang telah marak sejak 1970 memang semakin berkembang pesat. Sama seperti
kemajuan teknologi yang semakin canggih dari zaman ke zaman. Dan sudah
diperkirakan hutan Indonesia tersisa tinggal 28%[4]. Dan tinggal
menunggu waktu saja untuk punah.
Every action has its own causes. Deforestry is
not the exception. Penebangan liar, kebakaran hutan, konversi hutan, yang
dilakukan oleh manusia menjadi penyebabnya. But
let ‘em took all the trees, and do everything they wanted. Karena memang, It will cause some effects, seperti
bertambahnya jenis populasi dan iklim yang mendukung.
Bertambahnya
jenis populasi, well,I know you are
confuse with that statement. But don’t judge it, because I haven’t finish it
yet. Bertambahnya jenis populasi, hewan yang terancam punah. Yeah, that’s fuckin right, fellas? Yak,
hewan-hewan di Indonesia memang terancam punah karena kegiatan deforestasi.
Terutama harimau dan orang utan. Bahkan, eksistensi harimau di Sumatera patut
dipertanyakan, karena hanya tersisa kisaran 400 ekor.
Tapi
siapa sangka? Kalau mereka yang hampir punah punya manfaat? Yak, kepunahan
mereka memang bermanfaat, untuk manusia. Terutama untuk penjual ilegal, yang
mengambil manfaat dengan mahalnya kulit dari harimau. Atau pelaku illegal logging, yang tak mementingkan
habitat dari hewan tersebut dan lebih mementingkan sisi materialisme. Atau
suatu hal yang tidak kita sadari? Kalau kita (masyarakat) juga senang dengan
kepunahan dari hewan tersebut. hal tersebut dibuktikan dengan kita yang
menggunakan produk dengan semena-mena tanpa memperdulikan semua berasal dari
sawit, yang notabene telah merusak hutan di Indonesia. atau kebodohan kita yang
senang dengan habisnya harimau, sehingga tidak ada yang menyerang perkampungan
lagi? Well, that’s just a people with
dumb perspective. Karena kita tahu, untuk apa mereka ke perkampungan kalau
kita tak merusak kampung mereka? So, who
did it first? Yeah, I can speak it loudly, we are the creator of every problem.
Namun,
patut digarisbawahi, penyebab terbesar deforestasi, yang memusnahkan fauna,
adalah keberadaan perusahaan besar penyambung nafas Indonesia. kenapa demikian?
Yak, tak bisa dipungkiri, Indonesia adalah pemilik potensi alam terbesar, dan
sebagian besar berada di hutan. Dan untuk memuluskan cara tersebut, hanya ada
satu cara, buka hutan tersebut. Is it
dumb ways to live or to die?
Tak
usah dibayangkan, perusahaan besar seperti AAP, raksasa Pulp dan kertas, telah
mengkonsumsi 1.150 hektar hutan hanya tahun ini[5]! Dan itu jelas
mengancam eksistensi harimau sumatera. That’s
why I don’t ask you to imagine it, because it is a fact, and you can see it on
youtube.
Source:Google.com + CS3 |
Atau
kebodohan Bumitama yang mau dikangkangi oleh Wilmar, dan menghabiskan nyawa
dari Indonesia hanya untuk perluasan sawit. Totally
fail. Wilmar yang telah menghabiskan populasi harimau sumatera, dibantu
dengan Bumitama, di Kalimantan Barat, yang menghabiskan populasi orang utan. Yeah, we know, oil palm can fix our
economics side. But don’t you dare to think every effects that you made?
Source : GreenPeace.or.id
Well, another effects that deforestry made. Iklim yang mendukung. Untuk siapa? Yak, cuaca yang
ekstrem, memang menguntungkan. Untuk beberapa pihak. Petani misalnya, dengan
cuaca panas, sawah mereka semakin hijau kan? Atau ibu rumah tangga, yang senang
dengan cuaca panas, karena cucian cepat kering. But, I must say it once again, that’s only for people with dumb
perspective.
Just look at the reality. Pohon ditumbangkan, menjadi gong mulainya cuaca
ekstrem. Kekeringan melanda dimana-mana. Semua makhluk hidup jadi korbannya.
Mulai dari flora, fauna, bahkan manusia sekalipun. Atau bencana lain, seperti
banjir, yang disebabkan ketidakmampuan tanah melakukan absorbsi air yang datang
dari langit, sehingga menyebabkan banjir. Atau bencana angin taifun yang
melanda, seperti yang terjadi di Filipina akhir-akhir ini, taifun haiyan
menyerang dan menghancurkan pulau Layte[6].
Pemerintah
yang bergerak lamban dan dinilai kurang tegas, memang jadi masalah terbesar.
Dibuktikan dengan gagalnya sidang iklim PBB di Qatar yang menyebabkan protes
bergelombang dari berbagai pihak, tak terkecuali GreenPeace. Dan juga pemerintah yang dinilai kurang tegas dalam
menghukum pelaku deforestasi, dan cenderung mendukung mereka, karena memberi profit besar dalam keuangan mereka.
But what can we do? Are we just sit and talk each
other like nothing happen? Well, it’s your decision. Kita bisa berkampanye, bahkan dari hal kecil
sekalipun. Media sosial misalnya, efektifkan penggunaan media sosial, seperti
Facebook, Twitter, Path, masa iya dipake hanya untuk update kayak ababil baru megang teknologi? Why don’t use it for better options? Seperti kritisi kebijakan
mereka, dan membuat mereka selalu tertekan. simple,
but totally useful. Bukan omong kosong, Unilever yang selalu tertekan mulai
mengikuti kebijakan Nestle, deforestasi nol, yang menunjukkan kalau mereka
tidak akan menghancurkan hutan.
Source : GreenPeace.or.id
Or you can do some unforgetable moment, to get another
awareness. Well, this is what GreenPeace always did. Kasus Wilmar misalnya, mereka membentang karpet
bercorak harimau sembari merobeknya. Bentuk protes ke Wilmar yang terus merusak
habitat mereka tanpa ampun. Atau aksi menutup mulut dengan perekat sebagai
bentuk protes terhadap ditahannya salah satu aktivis GreenPeace di Rusia, beberapa waktu lalu.
But there is the most important point. kerja sama dari lembaga juga dibutuhkan. Masa iya
aktivis yang mengkritisi kebijakan pemerintah Rusia yang mengebor es Arktik,
malah ditangkap. Walau sempat mendapat kecaman dari Ban Ki-Moon, tetap saja,
hal tersebut memang jauh dari peri kemanusiaan.
Yeah, you must realize it, you must act. We need your
voices, GreenPeace need your voice, and I promise I’ll be there to be their
voice in a few next year. See ya, Mbak Rika!